Wednesday, June 20, 2007

kritikan buat Andrea Hirata

menambahkan sedikit apa yang diungkapkan Mbak Echy...sebagai pengarang fiksi yang mencampurkan adanya fakta dan juga kajian menyerempet ilmiah, memang harus hati-2....
seperti yang ditulis Andrea tentang rumus integral tempo hari....karena latar belakang ilmiah bila dimasukan juga dlm cerita harus bener-2 sesuai dengan teori yng sebenarnya, kecuali apabila dia memuat atau mengajukan teori-2 baru.

aq sependapat dengan Prof. Jakop tentang tetraloginya Andrea ini, terlalu banyak yang memuji, sehingga sepertinya lanjutannya seakan dipaksakan...dan hasil buku ketiga yang tipis dan berisi cuman segitu.....semoga saja di buku ke empatnya dia lebih matang lagi , tidak mencari-cari fiksi yang di faktakan atau fakta-fakta yang di fiksikan secara tergesa-gesa...

sebagai pengarang justru kalau tidak ada yang mengkritik bukunya ya seperti sayur tanpa garam.
menerima pujian akan lebih mudah terutama dari pembaca yang begitu gampang terbakar emosi, tapi menghadapi kritikan pedas belum tentu dia bisa tahan, dan sebagai seseorang yang menghasilkan suatu karya harus siap diposisi kritikan ini, karena dengan dikritik berarti kita sudah mendapat perhatian dari yang kritik, dengan dikritik berarti ada tambahan orang yang sayang kepada kita, dengan dikritik ada tambahan kerjaan buat langkah selanjutnya, dengan dikritik........terakhir tidak ada manusia yang sempurna, karena sempurna hanya milik kekasih abadi kita Allah SWT.

salam kritik,
ilenk


----- Original Message -----
From: Dessy NS
To: klub-sastra@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, June 20, 2007 10:29 PM
Subject: [KlubSastraBentang] Laporan Andrea Hirata Di STISI Bandung
Hujan yang yang mengguyur Bandung tak sedikitpun mengurangi semangatku untuk meluncur menuju STSI, tempat dimana diskusi buku Tetralogi Laskar Pelangi diselenggarakan. Perjalananku cukup lancar, dari arah Soekarno Hatta menuju kawasan Buah Batu yang biasanya macet, ternyata siang ini terasa lebih sepi dari biasanya. Pukul 14.10 menit aku tiba di pelataran parkir, saat memarkir kendaraan aku bertemu dua orang guru SMA yang juga akan menghadiri acara tersebut. Kami langsung menuju lokasi.Acara ini diselenggarakan di lantai dua gedung jurusan teater . Saat mengisi buku tamu kami diberi 3 lembar fotocopian yang ternyata berisi catatan Prof.Jakob Sumarjo tentang Tetralogi Laskar Pelangi. Ruangan dalam keadaan gelap saat aku memasuki ruang pertemuan tsb, ternyata acara baru saja dimulai yang diawali dengan teater pendek Sang Pemimpi yang diambil dari adegan saat Ikal,Arai dan Jimbron tertangkap basah di bioskop, lalu adegan saat kepala sekolah menghukum mereka untuk membersikan wc lengkap dengan ocehan Jimbron tentang kuda-kudanya dan saat mereka harus memperagakan adegan sang majikan mengejar-ngejar pembantu saat menjemur pakaian. Persis seperti yang ada di buku, Ikal menjadi pembantu, Jimbron sang majikan dan Arai sebagai anjing yang melolong. Semua adegan tsb diiringi gelak tawa penonton yang sebagian besar adalah mahasiswa jurusan teater. Kebetulan aku mendapat sebuah bangku kosong di barisan ketiga dan sempat berkenalan dengan mbak Wita yang tenyata adalah salah satu panitia penyelenggara.Setelah acara teater tsb selesai kami sempat disuguhi makanan ringan dan segelas air mineral yang kemudian dilanjutkan dengan memperkenalkan sang penulis Andrea Hirata dan Bapak. Prof. Jakop Sumardjo. Beliau adalah Budayawan, Guru Besar STSI Bandung dan mengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam mata kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah Teater, daan Sosiologi Seni.Acara dipandu oleh moderator mas Heru ….(lupa nih belakangnya), Andrea sempat memperkenalkan beberapa "selebritis" seperti mas Kris dari Bentang lalu mbak Dian (istrinya mas Kris), mang Jamal dan kalau gak salah Hermawan aksan yang datang terlambat.Walau tidak hadir nama uda Akmal N.Basral juga sempat disebut-sebut. Seneng juga ahirnya bisa melihat wajah-wajah yang biasanya hanya tulisannya yang bisa dibaca di buku atau di milisProf.Jakob mengawali sesi awal dengan membahas buku-buku Andrea mulai dari Laskar pelangi, Sang pemimpi dan Edensor dengan segala kelebihan dan kekurangannya., lalu ditanggapi oleh Andrea dan yang menurut mas heru lebih ke pembelaan diri..he..he.Saat sesi tanya jawab tiba, pertanyaan lebih dinominasi oleh para mahasiwa STSI, beberapa menurutku agak meleset dari isi buku dan topik yang sedang dibahas karena mereka yang bertanya bahkan sama sekali belum membaca karya-karya Andrea, aku jadi geli sendiri melihat tingkah laku khas mahasiswa yang dengan pd-nya mengaku sbg seorang penyair. Andrea sempat mengungkapkan pengalamannya dalam 47 x diskusi buku yang ia lakukan dari kota ke kota bahwa kritikan pedas justru biasanya muncul dari "orang-orang cerdas" yang belum membaca karyanya, yang pada ahirnya melenceng kemana-mana. Ada juga mas Kris yang maju untuk menjelaskan "pertanggung jawabannya" sebagai penerbit atas kekurangan-kekurangan dalam Laskar Pelangi yang diulas pak Jakob.Pada ahir sesi tanya jawab seorang wanita menanyakan nasip A Ling dan bagaimana jadinya nasib Ikal jika seandainya Arai tidak ada ? pertanyaan tersebut dijawab dengan otak marketing seorang Andrea dengan cara menyarankan sang penanya mencarinya di buku keempat yang bejudul Maryamah Karpov. Penanya terahir (yang rada maksa ) mengungkapkan kekecewaannya karena diskusi lebih mengarah ke semacam jumpa fans yang yang lebih banyak menyanjung karya Andrea dan bukannya membahas tema pendidikan yang diangkat dalam buku laskar pelangi .Dalam catatannya selain memuji beberapa kelebihan Andrea dalam mengangkat kisah anak-anak Belitong yang ternyata hidup miskin di tengah tambang Timah yang tidak mereka nikmati, Prof Jakob membahas masalah fakta atau fiksi, seperti yang menjadi tema dalam pertemuan tersebut.berikut beberapa kutipan yang aku ambil dari:Biografi atau Novel, Fakta atau Fiksi? (Sebuah Catatan tentang Tetralogi Laskar pelangi karya Andrea Hirata)Oleh: Prof.Jakob Sumardjo."Persoalannya justru di sini, yaitu apakah itu fakta atu fiksi, atau fakta diramu dalam fiksi? Penerbitnya dan juga para pengulasnya menyebut karya-karyanya sebagai "novel" yang jelas genre fiksi dalam sastra. Sebagai novel tak perlu menghubungkannya dengan fakta-fakta pengalaman hidup Andrea. Pengarang bebas menggunakan fakta hidupnya untuk sesuatu makna sebagai respon terhadap persoalan hidup dirinya dan masyarakat. Dalam novel, apa yang dikisahkan pengarang tidak harus diartikan "telah tejadi secara histories" Semua cerita novel hanya sarana mengungkapkan makna pikiran dan perasaan dalam acuan impian, harapan, tata nilai subyektifnya"."Tetapi selama pembacaan, saya menilai bahwa buku-buku ini dimaksudkan sebagai otobiografi atau sekurang-kurangnya buku dari sebagian episode hidupnya. Buku ini mengandung fakta-fakta yang dialami penulisnya. Dan fakta-fakta itu penuh dengan keajaiban, bagaimana anak-anak miskin di pulau gersang itu dapat begitu cemerlang pemikirannya dan sebagian berhasil belajar di Eropa. Hidup memang penuh keajaiban dan ketidak-masuk akalan, dan kadang sulit dijelaskan.""Keberatan utama saya dalam menilai buku Andrea adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang solid. Akibat antusiamenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Logika cerita menjadi kesulitan saya yang utama dalam memahami nilai-nilai pengalamannya.""Saya dibuat heran bagaimana tokoh-tokoh sastra besar bisa mengomentari buku-buku Andrea ini dalam pujian-pujian yang begitu tinggi dan menjanjikan sebagi lahirnya penulis besar masa kini. Apakah mereka telah membaca serius buku-buku ini? Seluruh buku telah dibacanya? Memang, bahan cerita Andrea amat memikat untuk diceritakan, namun cara dia menceritakan itu telah mengaburkan makna penting bahannya sendiri. Kalu ditulis dalam perenungan yang lebih jernih dan tertata, bahan ceritanya bisa melahirkan karya sastra penting. Ketergesaan dalam menumpahkan kisah kesuksesan dengan antusiasme dan optimisme yang begitu percaya diri, terlihat dalam waktu dekat dia telah menulis serial tetraloginya begitu lascar pelangi meledak di pasaran."Acara berahir jam 5 sore (mundur 1 jam dari jadwal) ditandai dengan penyerahan cendera mata oleh panitia untuk bapak Jakob, Andrea dan mas Kris. lalu bagi-bagi buku dari Bentang untuk para pemain teater dan para penanya. (hiks… jadi sedih gak kebagian buku, diantara buku-buku tsb tdp bukunya Gabriel Garcia Marques "Seratus Tahun Kesunyian") Hujan gerimis menyambutku di pelataran parkir, begitupun awan gelap yang menggantung di atas langit kota Bandung, kemacetan khas jalan Buah Batu di sore hari menemani pikiranku yang masih tertinggal di STSI, ternyata ada satu criteria tambahan untuk menjadi seorang penulis: kuat mental dan tahan kritik. Jadi…syarat untuk menjadi seorang penulis adalah : membaca..membaca..membaca.. menulis..menulis..menulis dan….siap untuk dikritik.Temen-teman segitu dulu laporanku dari STSI Bandung, mungkin ada yang mau menambahkan ? mangga atuhh..Tabik,-Echy-
__._,_.___

No comments: