Monday, July 28, 2008

di bogor

telepon berdering
dalam irama desing keyboard dan kerlip kerlip monitor
"yu, di bogor ada teh benalu?"
swara serak sembilu menembak dari jauh
"mau brapa kwintal ? jelas ada"
"katanya bisa untuk obat?"
begitu banyak orang berucap
cuma obat kantong kering yang tidak mempan

ah, ya, nanti akan ku giring teh benalu untukmu
untuk mengobati pilunya paru-parumu
biarlah ku sempatkan menyisir bogor sampai puncak
demi dirimu

*setelah menerima talipon dari kanjeng sunan mbelgedes..."

jakarta, 25 juli 2008 10.42 wib

rri pro 2fm resensi Lanang...

untuk jam 15.00 di RRI Pro 2 FM 105.1 Jakarta tentang Novel Lanang, akan bicara para pembahas dahsyat (alvabetical):

1. Dian Ilenk Rembulan alias Dursilawati alias Nyi Woro Ciblon
2. Pakcik Ahmad alias Ahmad Maulana alias Nama yang Bergema
3. Sahlul Fuad alias Caklul alias Gus Lul

MERDEKA!!!!!!!!!!

Sunday, July 27, 2008

reboan di RRI Pro 2FM

Setelah tampil di acara Pro Resensi di RRI Pro 2 FM pada 22 Juni lalu
tentang Sastra Reboan, kini para awak panitia dapat giliran untuk
berbincang di radio yang sama. Semuanya dalam hari yang sama yaitu
Minggu, 20 Juli 2008 ini.

'Lanang' akan dibahas pada pukul 15.00 menghadirkan Yonathan Raharjo,
dilanjutkan dengan topik 'Puisi Indie' bersama Johannes Sugianto dan
Budi Setyawan pada 16.00 dan berikutnya mulai 17.00 menghadirkan
penyair Setio Bardono dan Dedy Tri Riyadi.

Acara ini bisa didengar di gelombang 105.1 FM, dan jika ingin ikut
nimbrung bisa hubungi telp. 345-9151, 352-2185, 352-2186.

Satu lagi, berkat teman kita, Lia Achmadi yang penyiar dan MC handal,
isi acara Reboan bisa didengarkan seminggu sebelum berlangsung

DI Ruang Itu , Ibu, KAU Sebening Embun Sehangat Kopi

Dalam ruang lengang Jumat sore tanggal 25 Juli 2008, lagi seorang penyair yang saya kenal bersahaja meluncurkan kumpulan puisinya malam itu. Dengan cover luar yang menarik dan kolaborasi yang menawan antara puisi dan gambar yang dihasilkan oleh beberapa fotografer menghiasi halaman luar dan dalamnya, menambah nilai lebih buku yang tidak tebal ini alias tipis. Bagai dara cantik yang baru tumbuh dengan kerampingan buku dan design cover luar dalam ditambah isinya yang istimewa, menjadikan saya jatuh cinta sejak pandangan pertama terhadap buku puisi ini.
Beberapa kali saya sudah menikmati sajak-sajak Epri di milis maupun yang termuat di Koran atau majalah, dimana susunan katanya mempunyai roh, sehingga saya kepincut untuk selalu merenung bait-bait setelah jeda waktu selesai membacanya.
Seperti menemui oase yang hilang, diantara gemuruh style penciptaan puisi oleh kebanyakan penyair jaman sekarang yang mempunyai kemiripan satu dengan lainnya, dikarenakan apa mereka sengaja menciptakan puisi disesuaikan dengan selera pengasuh rubrik Koran dan majalah atau keinginan untuk segera puisinya bisa di pajang di Koran atau majalah (Remy Soetansyah malam itu menyindir “kalau belum di muat di kompas belum jadi penyair” Apa iya !?), sehingga kadang mereka menggadaikan imajinasi dan creativitasnya sehingga hanya seonggok puisi yang membuat saya sebal dan kadang-kadang pengen muntah (padahal tidak sedang hamil) atau bahkan lebih ekstrim, saya sempat berpikir apa iya mereka para penyair itu sudah berkolaborasi dengan pengasuh rubrik Koran dan majalah mengadakan pembodohan pada pembacanya?, hanya menerbitkan bentuk puisi yang itu-itu saja. Kadang sering saya jumpai kata-kata yang hampir mirip satu sama lain, padahal otak masing-masing manusia ini tak ada yang sama dalam penciptaan imajinasinya, daya kreatifnya, kecuali kalau kita terlibat dalam satu konspirasi penciptaan tertentu yang sudah terpatron.
Epri salah satu penyair yang berani tampil beda dari euphoria penyair masa kini, pemula yang telah membuat kumpulan puisinya dijadikan buku dengan judul “ Ruang Lengang” . Buku cantik ini terdiri dari 44 puisi, dimana hampir semua puisi Epri menyajikan ketenangan, kesunyian, kedalaman pada jiwa manusia dan rangkaian kata-katanya mempunyai roh yang kuat, walau hanya terdiri dari beberapa kumpulan kata-kata saja, namun bisa membawa pembacanya merenung, mengambil nafas sejenak, menerawang, dan yang terpenting adalah menciptakan ketenangan, kelembutan.
Ditemani James Blunt menyanyikan 1973 pada malam yang sepi , saya mulai menjelajahi alam pikiran Epri dikedalaman kata-katanya.
Saya teringat ucapan Jamal D. Rahman ketika membedah buku ini pada launching hari Jum’at, dan sepakat dengannya ketika membaca susunan kata dalam puisi yang berjudul “Di Ruang Itu”. Epri membawa pembaca untuk masuk ke dalam relung jiwa manusia yang terdalam, dia tidak mengajak kita ke luar dari pikiran kita, karena yang di luar itu memang realita, tetapi mengajak kita masuk ke dalam diri kita masing-masing, ada apa yang ada dalam diri kita ini?
Di Ruang Itu
Di dasar ruang hatimu kutanam sunyi
Sebuah tempat yang selalu bisa kudatangi
Kapan saja aku mau termangu

Hari ini aku datang ke situ
Memandangi kamu yang galau

Lalu aku tulis sebuah sajak yang tak selesai
Kuletakkan di salah satu dindingnya

Kau boleh melengkapinya kapan saja
Atau membiarkannya basah sendirian
Dengan tetes airmatamu

Sajak ini berbicara ketika kita sedang galau, kata hati ini mengajak kita masuk ke dalam jiwa untuk merenung tentang apa yang harus kita lakukan dengan kegalauan hati kita. Biasanya kata hati kecil selalu memberikan solusi atau jalan keluar, disini Epri menulis “lalu aku tulis sebuah sajak yang tak selesai”, artinya solusi yang diberikan hati kecil kita memang tidak tuntas, tetapi mengajak logika rasionalitas kita meneruskan untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi, diakhir bait “kau boleh melengkapinya kapan saja/ atau membiarkannya basah sendirian / dengan tetes airmatamu”. Suatu ending yang menggigit.

Entahlah, pada saat launching kemarin, saya lupa menanyakan, mengapa dia membuat puisi dengan judul “kematian” sampai lima kali. Saya menjauhkan “tanda” atau “tahayul” tentang penciptaan puisi kematian seperti beberapa penyair membuat puisi dengan judul itu, kemudian tak berapa lama mereka benar-benar tiada. Dalam imajinasiku menangkap roh dari kata-kata yang terangkum di dalam sajak Epri adalah memperingatkan kita semua akan datangnya kematian yang setiap detik pasti akan terjadi dengan selalu kita mengingatnya “sudahkah kita siap menyongsong mati ?”

Dari lima puisi kematiannya, saya sependapat dengan Dani moderator pada Jum’at malam itu, bahwa puisi dengan judul “Kematian 4”, membuat bulu kuduk merinding sejenak.
Waktu semakin larut, dengan iringan The Used menyanyikan sayup-sayup The bird and the Worm, saya membaca lamat setengah berbisik sajak ini.

Kematian 4

Berdiri di antara 3 jembatan

Sepotong kain putih tanpa kacing

Sebuah buku diari

Sesobek alamat
dan petunjuk jalan

“Berdiri di antara 3 jembatan”, mengingatkan saya akan hadist rosul yang mengatakan hanya 3 perkara yang akan menolong kita kelak di alam abadi yaitu amal perbuatan kita selama di dunia, harta atau ilmu yang di tinggalkan yang bermanfaat untuk kemanusiaan dan do’a anak yang saleh. “Sepotong kain putih tanpa kacing “ sama dengan kain kafan. Ya, hanya kain kafan sebenarnya harta yang tersisa yang dibawah ke alam abadi. Semua kemewahan, hiruk pikuk duniawi takada satupun yang mau ikut serta kecuali hanya sehelai kain kafan tanpa kacing, karena memang tidak di jahit (mengapa Tuhan tidak menyuruh kita untuk menjahit?, karena beliau kuwatir kita akan memperagakannya di sana, peragaan busana sudah tidak dibutuhkan lagi, hanya peragaan amal kebajikan yang diperlukan dan itu tidak butuh baju secara harafiah). “Sepotong diari”, jelas disini adalah buku amal kebajikan kita selama di dunia. “Sesobek alamat dan petunjuk jalan”. Alamat cukup satu yaitu Istana Arz di lapisan ke tujuh tempat singasana Allah dan petunjuk jalan adalah abdinya yang setia Malaikat.

Evanescence berteriak lembut dengan Call me when You’re Sober menemaniku menjelajahi lebih lanjut. Terpaku sejenak pada judul sajak “Pergi”, mengambil nafas perlahan dan memory memutar kembali kutipan dari Jamal D.Rahman bahwa dalam sajak ini Epri membawa kita ke dunia batinnya, di sini dia menegaskan betapa terbatasnya dunia dalam kita sebagai manusia. Dan sajak ini berhasil dibawakan dengan indah, lembut, mengena dalam musikalisasi puisi anak angin pada jum’at itu.

Pergi

Aku pergi menulis
Kamu lambaikan tangan
Lalu bilang, “Selamat jalan, hatihati ya!”

Padahal aku pergi
Ke dalam ruang sepi
Hatimu

Suatu saat kalau kau
Sudah sadar, kau mungkin
Akan bilang, “Selamat datang, kau betah di sini kan sayang?”

Untaian kata di atas itu mengingatkan kita bahwa bila hati kita merasa tidak nyaman, biasanya kita suka merenung sejenak tanpa sadar sebenarnya hati nurani menyapa kita dan selalu menemani, memberikan ruang sejuk pada kegalauan pikiran kita, sehingga membuat pikiran kita kembali menjadi tenang.

Panic at the disco dengan I write Sins, not Tragedies, menembus semakin dalam roh pada sajak-sajak Epri. Kali ini sajak yang dibuat tipografi dengan judul KAU. Pada saat pertama saya menerima buku ini dan membukanya, saya sudah suka dengan sajak ini, dan penafsiran saya tentang makna dari sajak ini ternyata sama dengan penafsiran yang diungkapkan oleh Jamal pada malam itu, namun yang menjadi surprise adalah sang penyair tidak mengira bahwa tipografi dalam sajak ini ternyata membentuk penafsiran yang mendalam tentang sajak ini sebagai semacam sajak keprihatinan sosial masyarakat kini.


KAU

L S T
a e e
n r r
g I s
k n e
a g o
h k
k
u
terluka dalam perih

sungguh aku tak perduli
bila KAU masih ada
:di setiap

t a m
e I a
t r t
e a
s k
u

Jamal mengatakan bahwa “cakrawala” sedangkan saya lebih suka mengatakan “roh”. Ya, kata di tangan penyair seperti mempunyai roh untuk memberikan pencerahan pada pembacanya, memberikan suatu tanda atau sinyal kehidupan yang tidak tertangkap secara kasat mata. Rangkaian kata yang disulam begitu indah oleh penyair seakan hidup dan menantang pembaca untuk menafsirkan selaksa makna. Pada puisi KAU ini, KAU yang ditulis dalam huruf besar ini bukan mewakili TUHAN seperti pada umumnya penyair suka menulisnya, tetapi ENGKAU YANG ANGKUH (kutipan Jamal). Karena kalau kita menafsirkan Tuhan maka maknanya akan skeptis pada kalimat “sungguh aku tak peduli/bila KAU masih ada/di setiap…”

Epri mengajak kita merenung tentang kondisi sosial masyarakat kita saat ini, dimana harga-harga yang melambung, sehingga sering membuat langkah kita ini terseok dalam luka dalam yang perih. Dalam tipografi yang dibuat di atas dimana kata “langkah , sering, terseok” dicetak dari atas kebawah menyiratkan bahwa kebijakan-kebijakan yang datang dari atas (pemerintah), sering membuat masyarakat menjadi terseok (tipografinya melengkung menyiratkan bagimana kita jalan dengan terseret gontai). Selanjutnya karena sudah seringnya kita menerima kebijakan yang demikian parah, menjadikan kita menjadi tak peduli, acuh tah acuh, cuek (emang gue pikirin! ) dengan “sungguh aku tak peduli bila KAU masih ada di setiap tetes air mataku”.
Sajak yang perih dan dalam bahwa pada akhirnya kita hanya bisa pasrah terhadap kondisi sekarang ini.

Di samping puisi kedalaman jiwa dan kritik sosial serta kematian, Epri juga membuat indah rangkaian kata selarik puisi tentang kerinduan dalam cinta.

Dentingan lembut gitar Andra mengiringi nyanyian Sempurna memeluk malam yang semakin larut dalam sajak Sebening Embun Sehangat Kopi.

Cinta menetes bersama embun
Mengepulkan larik rindu
Di atas seduh kopi

Mengerjap mentari
Mengayuh sepi

Malam ini saya menikmati capucino sambil membayangkan kerinduan di asap yang mengepul. Dalam sepi rindu biasa datang dan saya menikmati sampai tuntas minuman dengan helaan nafas, dan tanpa sadar mengirim sms, tak seberapa lama bunyi siulan dari hp menandakan sms jawaban masuk. “Jam sgn belum tidur, lg ngapain?”, sedang menyetubuhi puisi, jawaban nakal kukirim. Tak lama hp mendering lirih , dan kemudian suara mbakyu dari Jember nyerocos rame. “Aku ada pesanan catering, makanya belum tidur dan kowe, walah edan! masih nulis puisi toh !”.

Sepertinya puisi dengan judul Ibu merupakan puisi wajib yang harus dibuat oleh banyak penyair. Ya,Ibu adalah muara dari segala muara. Epri menulis puisi untuk dipersembahkan pada ibunya sampai 3 puisi. Semua sajaknya saya suka, sederhana, dalam makna dan kerinduan saya terhadap almarhum ibu malam ini menjadi lekat dan mencengkeram laksana vampire mencekik leher.

Ibu

1/
engkau adalah jutaan dongeng
yang mengantarkan malamku dari bintang ke bintang

2/
aku guratkan jutaan kata
untuk menutup malam

ibu hanya ajarkan satu kata
untuk menatap matahari

Pada Jum’at malam itu puisi ini dimusikali dengan iringan alat musik sintren. Mendengarkan dentingan senar sintren dengan melantunkan tembang irama mendayu sang sinden menyanyikan dengan penghayatan penuh, membuatku ikut hayut.

Pendakian gunung Gede yang pernah dilakukan penyair ini , dituangkan dalam 4 puisi. Salah satu puisi yang berjudul Edelweis mengingatkan saya pada laku masa lalu, suka mendaki gunung bila resah hinggap di dada. Dan memory menari membuka masa pendakian di Semeru, rebah di hamparan edelweiss, ketika kehilangan seseorang untuk selamanya. Petikan gitar dalam lagu Hanya Untuk-Mu dari Ten2Five mengalun lembut menjerat saya terhisap di masa lalu sejenak.

Edelweis

1
engkau adalah kumpulan kabut
yang terhimpun di puncak sepi

membawa pesan keabadian
untuk terus mendaki kehidupan

2
batu dan kawah itu bersaksi, kau adalah
campuran dari desir impian para pendaki,
gumam dingin kabut, letupan magma belerang,
dan titisan pena awan yang merindukan
bumi

Tiang Listrik di depan rumah dipukul satu kali, menandakan sudah jam satu dini hari. Mata sudah tak dapat diajak kompromi lagi, saya menyudahi dengan tuntas semuanya. Hanya satu yang dapat saya ucapkan “rangkaian katanya indah , tenang dan dalam”

Cover belakang tercetak hasil fotografer Wib dengan judul Sepi yang menggambarkan jejak kaki di pasir dan di bawahnya tercetak tiga baris puisi berjudul Berlari. Aku berlari pada pasir / lalu kami saling mengurai nyeri / dan begitu sibuk mengumpulkan air mata. Suatu pasangan gambar dan puisi yang menyiratkan pendalaman arti yang sama.

Saya berharap Epri tetap membetuk jati diri dalam penciptaan puisi, tidak mengikuti trend sekiranya itu tak perlu. Jangan gadaikan imajinasi dan kreativitas pada keadaan semu. Karena banyak kata bisa disulam menjadi roh demi menyampaikan “sesuatu yang sunyi” dalam hidup ini.

Bogor, sabtu 26 Juli 2008 dan minggu 27 Juli 2008 dini hari 01.00 wib.