Friday, March 28, 2008

puisi puisi kuliner

rawon

hitam legam rambut terurai
dalam daging dan kubis terjuntai
masih adakah kata terangkai
keinginan terbungkus bawang prei

lendir lemak bergerombol
totol totol
nasi hangat kebul kebul
lidah minul minul

sambel terasi pelengkap
seperti hati yang terungkap
dalam dekap
pengap
uap

jakarta, akhir maret 2008
ilenk


gule kambing


kuali santan dalam belanga
bumbu lengkap harum kapulaga
mendekap raga

panas hangat
merangas tersengat
basahi bibir
melintir
cap
cap

asap kebul kebul
liur liur
sedup sedup

jakarta,
ilenk, akhir maret 2008


soto daging

to soto to soto
ging daging ging daging

wajah letih terukir di lipatan babat
menabur lesu di pucuk usus
lapar merintih dalam dekapan paru-paru

ambil lontong
jangan yang bolong
apalagi yang melompong

mata terbuka
mulut ternganga
nafas lega
lalu bersendawa

jakarta,
ilenk, akhir maret 2008

Monday, March 17, 2008

menangkap bicara-pikiran dan hati yang tidak menyatu

beberapa hari terakhir ini aku ingin ketawa ngakak campur sedih.

bagaimana tidak ? manusia yg katanya ngaku belajar di australia, yang bersedia menjadi pembicara tetapi ketika di kritik..."audzubilah, masa terus mencaci maki sang pengkritik dan misuh-misuh isi kakus layaknya seperti bukan seorang akademisi. mengatakan orang laen bego......intinya hanya satu "tidak berani tanggung jawab terhadap apa yang sudah dia ucapkan"

bagaimana mungkin ketka seorang yang mengaku pinter setiap ucapan yang keluar dari bibirnya tidak sejalan dengan pikiran dan hatinya, dan ketika ada seseorang yg mengingatkan dia baru merasa bersalah akan tetapi bukannya menyadari kesalahannya tetapi malah mencuci otak orang lain dengan mengatakan " ini lho maren itu yang aku maksudkan ini..loe seh yang bega kagak ngarti apa yg gua maksudkan"

halah halah halah......plin plan bener ente...napa sih musti cari legitimasi soal kepandaian? kalau seseorang itu pandai tdak arif dan bijak ya janganlah kau menamai dirimu pandai pinter orang lain bego dungu bodoh.

sebagai manusia sejati memang kita semakin hari semakin merasa bego dungu bodoh, tidak ada yang menjadi lebih pandai pinter cerdas. karena bumi berputar terus masih banyak teka teki Ilahi yang bersembunyi yang belum ditemukan disadari disetulusi oleh manusia. sekolah semakin terus diperlukan sampai kita kta ini di patok oleh dua papan dengan bilik 2 x 1 meter, baru dah selesai kedunguan kita.

ah, tapi ya sutralah, dengan postinganku kemaren itu, aku jadi melek mata dan hati bahwa selama ini orang yang di gadang-gandang cantik dan cerdas dalam berpikir ternyata hanya segitunya sama pinternya dengan anak balita yang baru belajar berjalan. belepotan semuanya kalau masih makan.

yang aku ambil positif adalah renak-2 di apsasian sebagian besar bisa melihat dengan waskito dan bijak, dan aku jadanya kenal dengan mereka yang dipucuk kahyangan dewata sebagai orang-orang sastrawan yang selama ini tdak tersentuh.

pembelajaran diri yang luar biasa bagiku......bahwa ilmu menulis yang sudah akan kutekuni ini bisa segera membuahkan hasil

hasil yang bukan berisi caci maki, tetapi sebuah esai kehidupan bahwa diatas kita masih ada yang lebih seterusnya sampai pada singasana Arz.

semoga saja apa yang akan kurintis dengan pakde Yohanes Sugianto, Cak-dursosono Jo-Jo juga teman-2 lainnya bisa segera terealisir.

Indahnya persaudaraan yang kutemukan di hati mereka.

padang kurusetra menempa diri menjadi dursilawati yang mumpuni..semoga saja dijauhkan dari sikap jumowo yang akan menjatuhkan diri kita sendiri.

ilenk begopunk habes.

jakarta, 8.45 wib

Oleh-oleh dari TUK

PUISI DIGITAL CYBERPUTIKA



Itu salah satu makalah yang saya terima dan baca yang ditulis oleh Kang Cunong dimana beliau ini pada waktu membuat thesis mengambil tema Puisi Digital dan itu sudah terjadi 8 tahun silam.

Dari diskusi semalam di TUK, kesan awalnya sudah amburadul adalah ketika moderator tidak memfokus memberikan ruang bagi pembicara satu persatu membahas "Apa sih yang disebut puisi Digital itu sebenarnya? atau cyberpoetry?.

Tadinya saya berharap kang Cunong bisa menjelaskan dulu sejarah CP itu 8 tahun silam sebenarnya sudah dimulai dng adanya YMS, dimana Medy juga Faruk HT telah memulainya.

Tapi disini kesannya siapa yang mulai duluan menerangkan tidak ada, malah Uda Akmal yg konsis menjelaskan makalahnya sampai tuntas.

Seharusnya sejarah awalnya itu di tangan Kang Cunong dulu, bahwa ini lho sebenarnya yg disebut cyberpoetry itu? bukan hanya sekedar memindahkan media yang akhir-2 ini lebih banyak meraja lela dng adanya milis-2, hanya sebaga pengganti media cetak, menjadi media di komputer atau milis.

Definisi yang Uda Akmal maksudkan diatas apa yang disebut CP itu adalah seperti yang ada di makalah Kang Cunong. Bagi hadirin yang hadir tadi malam, bisa dilihat pada makalah Kang Cunong pada halaman 2 dan halaman 5 yang saya kutip sebagai berikut :

"Puisi tidak lagi sederet huruf dan kumpulan kata yang bermakna tetapi sudah menjadi sebuah animasi - bentuk yang bergerak, berwarna, berbunyi, dan berlatar belakang lukisan atau foto (Budianta, 2004:191,Soewandi, 2004:248, Ridwan 2004:253)"

Pada halaman 5 disitu tertera Kominos Zervos dalam Ashok Mathur mengklasifikasikan puisi cyber menjadi tujuh jenis yakni :

1. puisi cyber disebut puisi hypertext menggunakan program hyperlink

2. puisi cyber menggunakan program hyperlink yang tidak melulu text tetapi juga image, bunyi, video dan animasi dan jenis-jenis huruf

3. puisi cyber tidak dapat diterbitkan dalam bentuk cetak

4. puisi cyber merupakan puisi bercampur dengan bunyi

5. puisi cyber dikenal juga sebagai puisi pertunjukkan seperti baca puisi, deklamasi ataupun drama puisi dan ini merupakan bentuk lama terutama dalam kesenian tradisional atau kesenian rakyat (di AS dikenal sebagai puisi yang diucapkan –spoken word poetry, di Ausi dan Inggris dikenal sebagai puisi pertunjukan – performance poetry)

6. puisi cyber adalah puisi kasat mata – visual poetry

7. puisi cyber adalah animal teks yakni penggunaan program animasi komputer – the animated text

Jadi disini sebenarnya antara pembicara satu dan satunya seharusnya saling terkait, tidak berjalan sendiri-sendiri. Seharusnya sebelum acara dimulai, baik moderator maupun pembicara itu sudah sama tahu materi yang akan dibawakan.

Kesan saya semalam kelihatannya jalan sendiri-sendiri, apalagi pada sesi Mikail ini, kelihatan bangget “aku”nya.

Forum semalam sebenarnya cukup ilmiah untuk perkembangan pembuatan CP, dan bisa menjadi pembelajaran yang selama ini salah kaprah tentang pemahaman CP.

Apa yang diuraikan Uda Akmal semalam bahwa CP itu bukan sekedar memindahkan media dari katakan media cetak atau buku, ke media internet/komputer/maya/digital, tetapi lebih jauh dari itu.

Sebuah kerja gabungan antara susunan kata seperti ulasan diatas dalam makalah Kang Cunong.

Cuma bener-2 saya sayangkan adalah seharusnya makalah Kang Cunong ini dibahas habis secara garis besar dan diberikan contoh-2 CP. Sayangnya contoh CP yang dibuat oleh Kang Nanang S pada waktu itu baru tampak di akhir acara. Padahal kalau dipikir kenapa Uda Akmal musti ambil contoh yang dari Luar soal CP (dari Korsel...emang keren abes seh !, Cuma contoh dari kang Cunong sebenarnaya sudah dapat mewakili apa itu CP, kemudian baru ditambahin contoh dari Uda Akmal, saling melengkapi lah)

Seakan-akan semalam hanya Mikail yang membuat CP, padahal kalau dipelajari sejarah CP 8 tahun lalu, sebenarnaya sebagian penyair kita sudah membuatnya, malah sudah berupa cd, yang dimotori oleh Medy Lukito dkk., termasuk Nanang dan TS Pinang.

Cuma sayangnya, perkembangan CP ini tidak digarap lebih serius lagi dan lebih modern sebagai – performance art poetry yang lebih canggih, perkembangannya tenggelam pada hingar bingar pemindahan media saja. Akibat banyak tidak dimuatnya puisi-2 di media cetak dan ada hadirin yang sempat mengatakan hanya sebagai media perlawanan terhadap hegemoni satu dan lainnya, sehingga arti CP menjadi kabur-blawur.

Ini yang bagi saya dan juga Cak Yonathan-Jo sempat berdiskusi, mengapa sesi kang Cunong tidak kuat bicara, malah kang Cunong bicara di luar kontek dari CP itu sendiri. Apa dia grogi menghadapi dominasi Mikail semalam yang kelihatan seakan-akan dia yang mulai CP?, padahal kalau dilihat contoh Mikail semalam di webnya...performance art poetry itu tidak kelihatan jelas, bila dibandingkan contoh yang diambil dari cdnya kang Cunong dan Uda Akmal. Kebanyakan memakai hyperlink saja.

Dan ada catatan khusus buat Mikail, tentang semalam adalah sikap dia terhadap bangSaut. Pada awal TUK mengadakan undangan soal cybersastra dng pembicara ANB dan Kang Cunong, dia sempat sengit dan mengatakan mas Guntur dng bahasa kumpeninya dia yang bagi aku tidak bermutu, mengapa tidak mengundang bang Saut. Eh, lha kok dalam perjalanannya malah dia yang jadi pembicara (dan ini sempat dipertanyakan oleh cak Yo-jo semalam tentang sikap dia) dan yang membuatku tidak menjadi nyaman lagi adalah kok dia jadi merendahkan bang Saut tidak bisa membuat poetry art digital. Apa ya iya bang Saut tidak bisa? (saya tidak membela bang Saut atau TUK, tetapi saya membela konsistensi dlm bicara). Apa karena dia bicara di TUK, sehingga keluar komentar begitu? Lha kalau bang Saut kerjasama dengan orang grafis dan IT untuk menciptakan CP itu, apa ga malah punyanya Mikail yang bisa kalah saing. Mengutip seorang arif dari Madura yang lahir di Glasgow,Scotland sana mengatakan bahwa ”kredibilitas seorang akademisi adalah ketika dia konsisten-inkonsisten dengan apa yang dia bicarakan”

Untuk selanjutnya bisa saja diskusi CP ini dilanjutkan dengan lebih banyak penyair yang terlibat, sehingga pengertian CP yang sebenarnya bisa dimengerti tidak sekedar memindahkan media saja.

Dalam perjalanan pulang membelah Jakarta-Bogor, terbayang dalam perkembangan nanti mungkin tidak akan lama lagi bukannya launcing buku puisi tapi diganti dengan”launching

Album puisi digital art poetry” dari para penyair terutama penyair Apsas. Sudah kebayang kalau seandainya kolaborasi puisi Dino, kang UHK, Kang Buset di buat art digital dengan sound dj dan creativitas kata yang meliuk-liuk, ah...saya tidak peru lagi pusing menyuruh kurcaciku menikmati puisi, bisa langsung di pindahkan di IPOD atau hp, atau pc dan notebook, sehingga setiap saat ketika kangen ingin menikmati puisi Chairil Anwar, SDD, gurindamnya RHA, SCB juga yang laennya bisa dimana saja dinikmati.

Karena kedepannya mau tidak mau perkembangan teknologi akan merambah di semua bidang. Kalau pencipta lagu, penyanyi dan arranger dan RP berkolaborasi meniupkan ruh nyanyian menjadi sebuah totonan video klip kenapa syair dari penyair tidak juga bisa dikolaborasikan?

Dan membayangkan juga kalau ultah Apsas ke IV nanti sudah bisa dilombakan penciptaan Cyberpoetry bagi para apsasian.

Mungkin multiplynya apsas sekarang bisa difasilisasi mengenai dimungkinkannya cyberpoetry didalamnya hasil penciptaan anggota.

Mulai kita kembalikan CP ke jalan yang benar demikian suara yang kutangkap semalam.

Dan berharap kang Nanang S, mas Pinang dan lainnya yang sudah merintis awal CP di YMS bisa terus melanjutkan dan mengembangkannya.



Ilenk rembulan, Jakarta, 12/03/2008

Wednesday, March 12, 2008

MEMBELAH BIRAHI LAUT BAKIRIM KASUBA DI PANTAI GALALA

Dengan diiringi lantunan lagu “taking chances” by Celine Dion, pagi cerah di sabtu awal maret walau di ujung kota bogor bergayut awan kelabu, namun tetap membuatku ingin cepat-cepat menikmati kumpulan puisi dari Dino Umahuk.

Sebagai penikmat dan pelahap puisi membaca puisi-puisi Dino, aku berusaha meresapi jiwanya ketika metafora kata dalam buku itu terbentuk

Terdiri dari 127 puisi yang terbagi dalam 5 bagian yaitu Haluan menuju, Narasi tanah asal, Sajak lautan ridu, Kipas lenso putih dan Jejak sunyi. Dari 5 bagian tersebut bagian Jejak Sunyi yang memuat paling banyak sajak-sajak Dino sekitar 36 puisi.

Yang menarik pada bagian pertama yaitu “Haluan menuju”, beta catat ada 13 kata “cahaya” yang termuat di 9 sajak dino. Mungkin bagi seorang penyair pengulangan beberapa kata dalam beberapa puisi hal yang lazim, tetapi bagi aku yang berusaha menikmati sajian kata yang sudah terbentuk cukup mengganggu makna yang kutangkap.
Tentu saja dalam hal ini beta hanya terbatas sebagai penikmat yang tidak berhak mengatur sang penyair menyajikan kata dalam masakan berupa sajak, namun pengulangan demi pengulangan yang terhampar dari satu bagian dan disajikan dalam urutan sajak yang berdekatan cukup membingungkan sesaat, walau pada akhirnya memaklumi saja mengapa kata "cahaya" itu harus ada di sajak tersebut.

Ketika lembaran pertama pada bagian ini, beta langsung suka dengan puisi yang berjudul “agama bunuh diri” yang dimasak pada tahun 1999 . Rangkaian kata yang diramu dengan sederhana namun sarat makna dan dalam artinya. Langsung yang terbayang adalah kobaran api yang memanas ketika Ambon pada waktu itu membara.
Lamunanku melompat pada beberapa waktu lalu, karena salah satu sahabatku sempat memberitahu, dia terjebak dengan kobaran api di kantornya.
Ah, dendam selalu menyisakan luka yang mendalam, lebih-lebih kita tak tahu dendam apa yang terjadi dan mengapa harus terjadi. Bara telah menjadi abu, puisi Dino di halaman pertama pada bagian awal ini, menggores luka menyisakan tanya.
..............
Apakah mereka mengajarkan agama Tuhan
Agar kita saling membunuh?
Kalau memang demikian
Mengapa agama melarang bunuh diri

Bagian pertama dari buku inipun banyak berbicara soal Ilahi Rabbi, kematian yang ditulis dengan metafora kata pulang, dan beberapa sajak berbicara dengan religiusnya.
Adakah Dino sedang gelisah terhadap kematian ? ataukah sedang gelisah berbicara dengan tuhanNYA? Ada satu sajaknya yang berjudul “pulang” yang cukup menawan juga menangkap kegelisahan akan kematian.
Sebagian kukutip di bawah ini , sajak ini diramu pada mei 2007 di Banda Aceh:

Ke arah manapun kau mendayung
pelayaranmu hanya menelan buih
perahu merapuh/ layar-layar sobek
nasibmu karan di gerus waktu
Maka pulanglah ke rumah cahaya
rumah yang darinya kau telah lam melarikan diri
sebelum aja menikammu dian-diam
dalam satu kedipan mata

Pada bagian ke dua “Narasi tanah asal”, terdiri dari 27 puisi yang sebagian besar bercerita soal alam, gempa Yogja juga peristiwa tsunami di Aceh dan beberapa kenangan tentang Maluku.

Ada beberapa puisi yang bercerita soal tanah asal Dino, ini yang paling beta suka. Ungkapan bahasa daerah yang terselip di sajak-sajaknya mengingatkan aku akan lambaian pantai-2 di gugusan pulang Maluku yang memang katanya terkenal indah luar biasa.
Beta jatuh cinta pada puisi Dino yang berjudul “enggo lari”, dibuat tahun 2000
.....................................
Bawa berlayar kole-kole
cari ikan, bikin api
di paparisa bikin janji, kawin lari
jadi kasih, jadi rindu
jadi kami putra Maluku

Terasa terdengar petikan ukelele sambil bergoyang ala penari hawaian….ahhhh semilir angin pantai berhembus…

Kemudian puisi yang berjudul “fragmen para leluhur” yang sarat akan beberapa istilah bahasa daerah,kemudian “menuju tanah asal” dan “nona panggil pulang” puisi ini beta baca sambil memdendangkan seperti menyanyi lagu olesio…..oh sio mama sio nona…..terasa banget ambone maniseee.

Dan di bagian inilah puisi yang berjudul “metafora birahi laut” yang kemudian menjadi ikon judul kumpulan puisi pada buku Dino berada.

Ini puisi paling bagus dari seluruh puisi yang ada di bagian kedua ini, terasa banget asinnya, ombaknya, deru angin kencangnya dan terakhir menimbulkan birahi laut yang luar biasa. Terasa badan seger basah kuyub seperti habis selancar…..(halah !!! )

Pada bagian ke tiga yang terangkum dengan “Sajak lautan rindu”, terdiri dari 21 puisi yang sebagian besar ditujukan pada nama sandi edelweiss. Nama ini cukup membuatku bertanya-tanya “siapakah edelweiss?” bunga yang aku paling suka, kata para pendaki gunung bunga lambang cinta seperti salju abadi di puncak Himalay (ah, apa iya ?).

Dino tidak salah kalau memakai ramuan kata edelweiss buat seseorang yang dia cintai, betapun sampai kini masih menyimpan edelweiss dari pegunungan Jayawijaya yang dibawa “sang pengembaraku”.

Disamping edelweiss ada satu lagi nama disebut ada dibeberapa puisi “rifa”, wah adakah memang penyair itu ada banyak perempuan di imajinasi dan realitanya ? seperti kata banyak orang? Kalau ternyata banyak, tak mengapa, karena perempuan memang merupakan salah satu ladang penghasil imajinasi ribuan kata bagi penyair (hayo, ngaku saja !).
Jadi ingat salah satu teman berbisik padaku saat setelah minta tanda tangan pada bapak penyair romantis Indonesia SDD, temanku bilang “pak SDD ini kan dulunya ceweknya banyak” . ya, iyalah….gimana tidak banyak, wong cewek itu di kasih untaian beberapa kata yang romantis langsung gimana geto , sedangkan beta sendiri pernah memraktekkan berkirim beberapa kata sejuk sms ke temen cewekku , langsung responnya “cling”, gimana seorang SDD? Dan sekarang beta baca saka-sajak Dinopun sarat dengan beberapa nama perempuan. Aahh…inspirasi yang tidak akan habis habisnya…..

Pada bagian ini beta suka puisi “antara ternate dan Jakarta” di bawah judul ada tulisan edelweiss, mengingatkan akan lagu antara anyer dan Jakarta…..hemmmm…romantis banget puisi ini…di buat di ternate feb 2007.
........
Rindu yang menggigil telah kularungkan pada setiap desahan ombak
Laut Halmahera yang fasih telah menerjemahkan aroma tubuhmu

Dino, katakan padaku rindu yang menggigil itu seperti apa? Jadi kepingin nih ? yang terbayang ketika membaca bait ini adalah iklan dari obat sakit flu yang ada rintik salju turun (ahhhhh..!)

Di samping flamboyannya Dino terhadap perempuan , dia tidak lupa membuat puisi yang berjudul “ibu”, terus terang betapun jatuh cinta pada puisi ini pendek, terdiri dari lima bait, sarat makna dalam, tiba-tiba membacanya akupun kangen almarhum ibuku.

Ibu
mimpi pasti membunuhku malam nanti
di tanah pelarian yang begini jauhakah doamu akan sampai?
Ibu

Dino, do’a ibu itu tak lenkang oleh jarak yang ribuan, selalu sampai dan sampai, itulah hebatnya do’a seorang ibu, yang membuat Dino sekarang menjadi penyair dan semoga menjadi penyair yang sukses mendulang kata di setiap do’a ibu.
“Jangan biarkan perempuan itu sendiri”, ini judul puisi yang dibacakan cak Jonathan Raharjo sambil melukis di peluncuran buku ini tempo hari. Puisi ini dibawah judulnya ada tulisan edelweis. Hem, lagi lagi edelweis. Akhirnya terjawab sudah siapakah edelweiss ini sebenarnya pada puisi dino yang berjudul “tunggu aku besok pagi”, kukutip penggalan puisinya :

Siang nanti akan kurajut layar bagi perahu yang akan berangkat
mengikat janji di lepas pantai dimana camar sebagai saksi
dibawah restu Sang Pemilik Bumi kita menikah
selembar puisi akan kutulis sebagai maskawin jadi menanda hingga saat mati

Akan kubangun istana mungil beratapkan anggrek berdinding edelweiss
kelopak putih dan ungu semerbak wangi bagi cinta yang mekar di dada

Lalu dari rahimmu kau lahirkan aditya dan nadya
buah cinta kita kita dalam dekapan bumi dalam damai dan wangi puisi
bocah-bocah lucu yang akan menemanimu saat aku sibuk, saat waktu manua

Ada satu pertanyaan yang menggelitik saat membaca puisi tersebut, adakah cewek sekarang mau diberi selembar puisi untuk maskawin? (kalau ada yang mau, enaklah beta nanti, tak perlu susah cari mas kawin buat 2 kurcaci)
Pada bagian ke empat “Kipas lenso putih” terdiri paling sedikit hanya 18 puisi, menceritakan tentang lelaki pantai dan beberapa sajak sarat istilah bahasa Maluku. Salah satu puisi yang beta suka dibagian ini adalah “kipas lenso putih” :

Hanya jika angin menggasak dahan bakau
kita saling menitipkan senyuman di jemari langit
lautan warna-warni tiang layar perahu nelayan

Ombak putih-putih ombak datang dari laut
kipas lenso putih nona manis sudah jauh
ole sio-sio sayangee

Petikan ukulele terasa bangget…padahal di kejauhan suara Celine Dion dengan lagu “shadow of love” masih mengalun di tape recorder, antara imajinasi dan realita gak klop blas, tapi sengaja beta biarkan bercampur , karena menikmati sajak sajak Dino memang terasa campur seperti alunan music antara angin, ombak , desingan daun kelapa dan teriakan nona nona manis serta suitan camar di kejauhan jadi satu.

Bagian terakhir dari buku ini terdiri dari 36 puisi yang terangkum dalam bab “jejak sunyi”. Beberapa sajak menceritakan tentang gelisah rindu, amarah yang tercekat atau kemungkinan juga gelisah tentang ’sunyinya Dino”

Puisi yang berjudul ”menghilang dalam gelap”, membuat bulukuduk ikutan menggigil, terdiri dari 4 baris kalimat , ini kutipannya :

Tiba-tiba kau sudah sebegitu menghilang pada gelap
Bayangan dan batang ara sama menghitam pada jarak
Meski rindu tak terbilang seperti bintang
Mencari nafasmu hembusan angin menggigilkan bulu roma

Ada satu puisi berjudul ”Pelayaran ke hulu ajal”, sebagian beta kutipkan :
..........
Sudikah kau mengirim perahu bila tiada percaya di binar mata
Darimana layar mengembang jika angin kau sumbat di mulut telaga

Pelayaran ini semakin mengirimkan nasib ke hulu ajal
Jika saja kau sampai nanti
Barangkali aku telah berpaling

Wuihhhh....kalimat terakhir itu lho Dino......”barangkali aku telah berpaling”...selingkuh yaaa???? ......hehehehehe

Ada satu puisi berjudul ”perempuan di tenda biru”, jadi inga inga lagunya Desi tenda biru.
..........................
Tenda biru
Puting beliung bertiupan
Dengus nafasmu aroma pelangi
Daun-daun menari geliatmu hasrat memenjara
......................

Selepas sudah beta baca semua kumpulan birahi lautnya Dino ini. Setangkup gelombang masih menggelitik di relung sudut mata. Ah, rindunya Dino...marahnya Dino...tercekat dalam kalam Ilahi Rabbi....dan gejolak riak pesisir Halmahera....semuanya dengan manise terangkum indah.

Puisi Dino telah mengirim bahasa rindu pada Maluku.

bogor, 8 maret 2008...9.00 wib