Monday, February 2, 2009

hut apsas ke 4

sejak aq bergabung di milis apresiasi sastra 2007 lalu, aq sudah suka n senang dengan milis ini yg aktif rame seperti kehidupan ini, kadang ada perkelahian, beda pendpaat dan macam-=2, kadang ada pula karya-2 ada yg bagus dan jelek.

sejak hut apsas ke 3 aq udah terlibat sebagai panitia pada waktu itu mengurusi konsumsi, karena terus terang aq suka organisasi, jadi dng giat di organisasi maka akan bermanfaat, untuk apa cuma main di kulitnya saja.

pada hut ke 3, aku masih belum bnyak mengenal orang, aku hanya kenal beberapa orang, namun kemudian berkembang sampai detik pada hut yang ke 4.
ketuplak pada hut yg ke 3 mbak rita achdris memintaku untuk jadi ketuplak pada hut ke 4. aq sempat menolak, terus terang aq ini orang yg ada di belakang layar...eh suka dibelakang layar, tak mau tampil, akan bagaimana kalo tampil bisa grogi jadinya, nmun kemudian stelah berpikir dan konsultasi dengan pakde yohanes maka akhirnya aq terima juga penunjukan sebaga ketuplak setelah melalui pemilihan di milis secara terbuka. rivalku tman seperguruan di pasar malam caklul.

mulailah kemudian penggalangan dana baik berupa makanan sumbangan buku maupun dana fersh money. ternyata cukup alot juga dan akhrinya ya ini yg kutakutkan, aq masih nombok juga, walau puas pesta itu berjalan sukses.

bisa menghadirkan para sastrawn senior maupun yunior yg selama ini selalu ada sliweran di maya saja.

ada bang saut, mas sitok dan bahkan mereka motong tumpeng barengan, ini ndak ada rencana apapun kecuali keinginanku yang selama ini sedang berperang bisa menikmati guyub dalam suasana pesta meriah ini.

ada penyair senior sitor situmorang, mas endo pds (PDS ini sumbangan dari mas hudan, kl ga ad dia aq bakal kliyengan), pk darmadi, pak pur, pak parikesit, mas ari tamba, juga mas joko sumantri, mas tulus w, bang manaek, bang sihar, wartawans, juga banyak apsasian yg hadir, ada gita dari sby, veve, mila, fitri yg militan membantu sampe malam bungkus kado...ah indahnyaaa

juga kak wanda hamidah yg kuundang langsung di kitab tampangnya, hadir..wuahhhh senengnya, kang anwar, mbak anin yg pemenang novel itu, juga lainnya pengisi acara diskusi ms agus noor, mas hudan, broden juga tentunya bang saut sendiri.

luar biasa....peserta buanyak 150 orang ditambah panitia..luar biasa...walau makanan sisa, tapi akhirnya habis juga, sumbangan buku yg tadinya seret ternyata mengalir juga dari mas anton serambi juga oom kafi kurnia di akoer, terus dana juga...mengalir semuanya...walau msih harus nombok.

luar biasa, sumbangan dari saudara kurawa di pasar malam yang tak henti hentinya membackupku sampai selesainya acara ini

gita adikku tercinta dr sby dibelain naik kereta sayur...demi ultah apsas luar biasa, membacakan riwayat hidup di makam chairil anwar dan juga ke makam pram

mungkin bisa dijadiin tradisi untuk mengunjungi makam para penyari besar yg mempelopori penulisan penulisan yg menggelegak...

sampai kini msih jarang kutemui sebuah karya puisi sebagus amir hamzah, sanusi pane, juga laennya angkatan pujangg baru, mapun kemudian....

maka itu ada sebuah angan sekiranya nanti pada reboan fair diadakan, aq pengen diskusi sastra itu berlanjut terus sehingga ada keinginan untuk memperbaruhi hasil karya itu terus menerus, beberapa pengisi sudah kuhubungi dan sudah bersedia sebagian, tinggal moderator....

ahhh terima kasih ALLAH ..kau sudah berikan sesuatu yg berharga untuk kunikmati, walau disisi lain aq masih mengais harapan.

tak ada gading yg tak retak....semua ada kekurangannya

selasa, 3 feb 2009.

yayayayaya sebuah acara sukses ini kan kudu ada pengorbanannya....

Monday, January 19, 2009

resensi kumpulan puisi Afrizal Malna

Perjalanan di Halaman Belakang, Pakaian kotor di Dasar Jurang
Oleh ilenk_rembulan
Buku kumpulan puisi setebal 256 halaman ini dengan cover batik menarik dan sederhana, namun meninggalkan kesan “art” bagi pecinta seni , seolah menggambarkan sosok penyairnya yang memang selalu tampil sederhana , tetapi menyimpan energy penciptaan dan daya kreatifitas yang tinggi.

Sepakat dengan siaran pers yang tercetak dalam undangan diskusi buku tersebut pada hari Jum’at tanggal 21 November 2007 di Cemara 6 Galery,Jakarta, saya sempat mencuri waktu sejenak dari kesibukan menyiapkan anggaran perusahaan, karena bagi saya, Afrizal sebuah fenomena lain, tercetak di siaran pers tersebut bahwa Afrizal menawarkan sebuah strategi untuk memandang dunia secara berbeda. Di tangannya, keseharian yang ada di sekitar kita diramunya menjadi obyek puisi dengan strategi instalasi, Afrizal mengemban sebutan mesra “puisi instalasi”.

Judul buku puisi kali ini sudah merupakan bagian dari puisi itu sendiri. “Teman-temanku dari Atap Bahasa”, mengucap judulnya saja sudah saya rasakan sentuan instalasinya.

Di bagi dalam 2 (dua) bilik, bilik pertama berisi 28 puisi oleh penyairnya diikat dengan nama Perjalanan di Halaman Belakang, sedangkan yang ke dua terdapat 40 puisi dengan lilitan nama Pakaian kotor di Dasar Jurang yang siap mengajak pembaca menyelami goresan seorang Afrizal.
Sejak pertama menikmati puisi-puisi Afrizal dengan bentuk yang specific dalam penulisan maupun cetak tata letak dan sepintas awalnya bagi saya agak melelahkan. Selaku penggemar puisi puisi pendek dengan alur lompatan klasik pada umumnya, membaca puisi Afrizal terasa agak aneh.
Namun kemudian setelah membaca kata demi kata yang terangkai bagaikan pecahan tubuh keseharian, dimana Afrizal berhasil dengan indahnya seperti meletakkan puzzle di sudut sana sini, saya menemukan kejutan itu. Perasaan lelah di awal ketika hanya melihat sepintas hilang sudah, bahkan mata ini menatap terus dan berusaha menyelami masuk ke dalam, seperti seorang penyelam menemukan “sesuatu” yang terasa kemilau di kedalaman laut pada samudra luas, yang membuat hatinya turut tergerak ingin mengetahui “ada apa disana?”.

Bagian I : Perjalanan di Halaman Belakang

Kali ini saya ditemani tarian jemari Maksim menghentak suara tuts piano, mengeja kata demi kata di bagian I ini. Perjalanan dengan membaca judulnya yang terpampang di halaman depan , hembusan puisi-puisi itu sudah berbicara. Susunan pecahan tubuh itu sudah mulai terasa di awal satu puisi pembuka “50 tahun usia kuping”. Coba rasakan sejenak,

kuping itu menulis seperti membaca dalam sebuah sumur yang terbalik. kuping itu menulis seperti menyalib tubuhku secara terbalik dalam sumur itu.

kamu adalah daging dengan berat 2 ons. kamu adalah daging yang mendengar suara sumur yang terbalik dalam jantung manusia. kamu adalah 2 ons yang usianya hampir 50 tahun…..


Sepintas seperti hanya bermain kata saja, antara satu dan lainnya seperti di bolak-balik, namun apabila dicermati, kalimat selanjutnya merupakan bagian cerita dari kalimat sebelumnya, begitu seterusnya, lompatan yang teratur antara kata di kalimat atas kemudian menjelma di bawahnya saling terkait maknanya, bukan sembarang asal tempel, layaknya bermain puzzle, mencocokkan gambar di luar dalam hal ini di luar kehidupan, dengan rangkaian penciptaan di dalam, sehingga ditemukan kecocokan gambar bisa tercipta

Hal ini yang membuat saya tidak bisa berpaling atau menutup buku, ketika membaca bait bait puisi yang ditulis panjang. Afrizal berhasil memikat mata dan hati saya dalam bermain imajinasi yang melantun lembut seperti tuts piano yang disentuh lembut tangan Maksim.

Puisi-puisinya tidak hanya mempunyai makna dalam tetapi ada cerita yang disampaikan. Pengambilan kata-katanya dari bait awal sampai akhir itu bagi saya seperti melihat sebuah lukisan. Lukisan realita kehidupan yang dia sampaikan dengan symbol dimana mungkin bagi sebagian pembaca berkerut kening bertanya tentang maksudnya, tetapi bagi sebagian lainnya akan merasa tertarik dan menatap lama symbol itu untuk kemudian setelah diselami menemukan jawaban dan dapat tersenyum.

Hal ini terasa dalam puisi yang berjudul “halaman belakang bulan Januari”, sebagian saya kutip di bawah ini,

engkau tak bisa merekat nyanyian burung, menjelang hujan, di halaman belakang bulan januari. hujan masih mengungsi di negeri yang lain, sejak keretamu menerjang bulan januari dari politik pisang goreng…

Puisi ini indah, apalagi sewaktu dibawakan berduet dengan Djenar pada diskusi hari Jum’at kemarin. Seorang Djenar yang memang menarik ditambah puisi indah ini yang katanya Djenar lahir pas bulan Januari. Luar biasa !

Permainan judul puisi-puisinya sudah menarik, ada atap bahasa yang runtuh, mesin tik merah, kipas angin manusia yang kepanasan, aku merembes ke dalam sore, sebuah gerobak dia bilang, ingatkah aku berjalan di belakang punggungmu, dan masih banyak lagi. Metafora dalam bahasa tubuh digabung dengan kesederhanaan bangun dalam susunan katanya, membuat puisi Afrizal tak lelah untuk dijelajahi.

Saya contohkan disini, puisi berjudul “black box”.

nabi. Kalau n diganti dengan b, dia menjadi babi. tidak nabi. kalau b diganti dengan n, dia menjadi nani. tidak babi. black box. kalau b diganti dengan p, dia menjadi napi. tidak nani. kalau n diganti r , dia menjadi rabi. black box. tidak napi. kalau b diganti dengan s, dia menjadi nasi…..

Kesederhanaan dalam puisi di atas, sekilas bermain hapus dan ciptakan kata (apa ini alasan juri KLA tidak memenangkan buku ini), tapi ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh penyair ini, pada lanjutan puisi tersebut di bawah ini

black box, sayangku. pohon kamboja itu ada 5 meter di depan kita. black box. tapi setiap kata yang kita tanam, jaraknya tak terukur. lebih jauh jarak dari musim semi dengan seekor keong yang berjalan di atas lidah kita. black box : nabi, babi, nani, napi, rabi, nasi, nari…..

aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan kembali manusia seperti speaker dalam kobaran api.

black box.


Lihatlah ! bagaimana tiba-tiba dia menyelipkan kata speaker kemudian menggulungnya dalam kobaran api. Pembaca akan mereka-reka apa yang dia maksud ini? Adakah yang tahu makna “speaker dalam kobaran api “? Yang terbayang disela pikiran saya adalah lidah sapi panggang saus BBQ dalam kobaran api, tentunya lezat !

Satu lagi puisi yang berhasil memikatku lebih menikam, puisi ini sepertinya dipersembahkan buat sahabatnya Radhar ketika beberapa waktu lalu terbaring sakit.

Entahlah, ketika membaca kata-kata yang tersusun ini , saya seakan berlari tergopoh-gopoh seperti menyusuri lorong rumah sakit dengan ketergesaan penuh kepanikan. Afrizal bisa membuat saya malam ini berkeringat sejenak.

Soda susu dan bahasa Indonesia buat radhar

aku minum soda susu bersama teman-teman. dan teman-teman minum soda susu bersamamu, radhar. meja tempat kita minum seperti gedung rumah sakit yang sudah ditinggalkan. kini jadi bangunan tua. sisa-sia jarum suntik telah berkarat. pisau-pisau bedah tak mau berkarat, seperti menjagamu agar tak ada kawat berduri dalam tubuhmu……..


Di akhir puisi ini , penyair menulis dengan penuh “rasa”

ini mentega, radhar. dan ini diriku. aku tak tahu, berapa yang harus kita bayar untuk menyewa hidup ini. aku tak tahu, hujan yang mana yang akan membuat box pakaian yang pernah kita kenakan. udara di bawah dagu kita, dan kilauan air di lantai.

Bait-bait kata di atas seperti mengingatkan pada kita semua, bahwa betapa pentingnya arti “sehat” itu , lihatlah “aku tak tahu, berapa yang harus kita bayar untuk menyewa hidup ini”. Ya, ketika kita jatuh sakit, harus siap sediakan berapapun untuk menyewa kembali hidup kita, siapa tahu yang punya “rumah” tubuh ini akan mengambilnya tanpa mau menyewakan lagi.


Bagian II : Pakaian kotor di dasar jurang

Pada bagian II ini, puisinya lebih seperti membaca cermin (cerita mini). Kreatifitas pada kata yang berjiwa pada bagian ini begitu kuat, sehingga awalnya saya sempat mulai mengkhawatirkan bahwa saya tidak dapat menikmati lekuk lekuk pada tubuh puisi Afrizal yang sudah terlanjut saya nikmati di bagian I tidak saya temui. Namun perkiraan ini meleset, semakin lama saya telusuri lekukan tubuh puisi itu, semakin dalam saya bisa menikmati permainan Afrizal dalam memberikan “sesuatu” bagi jiwa ini.

Ada cerita dari atas sampai bawah dalam batang tubuh puisi itu, antara baris satu dan selanjutnya seperti rangkaian awal dari cerita pendek, ataupun novel. Afrizal tetap konsisten menciptakan guratan pinggul pada batang puisinya, walau itu ditulisnya panjang.

Kutipan sebagian puisi berjudul “apakah kamu masih sekolah, jilan “

saya ingi menggambar wajah ayah. tapi bagaimana saya bisa menggambar wajah ayah, karena saya tidak pernah bertemu ayah. apakah ayah terus berjalan bersama hujan ? setiap saya bertemu sungai, saya seperti sedang memandang ayah.

Apakah kamu masih sekolah, jilan ?

1 + 1 = 2. ibu guru terbuat dari ayam goreng. 2 +2 = 4. bapak guru membuat gunung dari gula jawa. 7 + 4 = 9. itu sudah berlebihan, ayah jilan mau beli donat. saya bosan sekolah. saya tidak boleh belajar membaca dengan menari. saya harus belajar membaca dengan berteriak. saya tidak suka duduk di kursi. saya hanya ingin menggambar robot di lantai. saya bosan di sekolah karena harus selalu menggambar gunung. saya berlum pernah melihat gunung. gunung itu seperti roti dengan isi coklat dan kacang. saya ingin masuk ke dalam kepala ibu guru………………….


Saya jadi teringat waktu masih SD dulu selalu seragam bila ibu atau bapak guru menyuruh menggambar. Kalau menggambar gunung, ada dua lekukan gunung di tengahnya ada gambar matahari , ada mata dan garis-garis berdiri. Kemudian ditarik lagi garis menyamping di bawahnya gambar jalan dan sawah petak-petak, dan anehnya semua teman-teman yang lain menggambar sama bentuknya. Apakah anda pembaca mengalami seperti yang saya alami dulu ini ?
Saya merasakan memang saya belum pernah melihat gunung, pun ketika hobby mendaki gunung kala SMA di Surabaya dulu , dari jauh G. Welirang dan G. Arjuna di Pandaan itu sekilas seperti gambar waktu SD, sehingga sayapun meng-amini gambar waktu SD tentang gunung itu hampir benar. Lalu bagaimana dengan gunung yang berdiri sendiri semacam G. Rinjani, G. Kelud , dll. Ah, ulasan ini jadi ngelantur ke gunung.

Judul-judul puisinya sudah mengundang keingin tahuan pembaca. Aku pulang bersama matahari sehabis hujan, pohon jambu yang patah, pidato bunga-bunga, korek api di atas bayanganku, kepalaku tidak terbuat dari kecelakaan , seperti apakah januari itu bangkai sapi dalam telur dadar dan banyak lagi. Judul puisi yang panjang sepanjang isi tubuhnya, dan bisa dilanjutkan sebagai sebuah cerita mini ataupun cerpen . Bisa juga berkembang menjadi sebuah novel. Kenapa tidak ?

Kutipan sebagian “ aku pulang bersama matahari sehabis hujan “

kaos yang akan aku pakai telah selesai kucuci. matahari sehabis hujan, seperti berjalan bersama-sama para pengantar jenasah yang baru saja pulang dari sekolah. aku tak tahu siapa yang telah dikuburkan dan aku tak tahu siapa para pengantar jenasah itu. kaos yang akan kupakai kini telah kering. dan aku mulai mengenakannya. tubuhku seperti menyentuh tanah.

aku buka kaosku kembali. ada bekas tanah pada bagian bahu kaos itu. juga ada seorang guru yang terbakar di depan papan tulis. aku tak tahu guru itu mengajar siapa. aku juga tak tahu tanah itu dating dari mana. aku mengira kaos itu pernah terjatuh ditiup angin saat guru itu mengajari tanah untuk tidak menjadi api


aku membantah mungkin kaos itu ikut mengantar jenasah yang dikuburkan saat matahri sehabis hujan. tidak mungkin tanah yang memakai kaos itu untuk berjalan-jalan di sore hari. aku tidak mau menduga kalau tanah itu tanah kuburan yang memakai kaosku saat jalan-jalan di sore hari

Puisi di atas tersebut terdiri 5 bait, yang empat bait panjangnya seperti di atas. Hitunglah ! berapa baris dalam satu bait itu. Antara rangkaian bait di atas dan selanjutnya merupakan satu kesatuan yang membentuk lingkaran.

Afrizal mengulang cerita pada bait berikutnya yang sebagian berisi penggalan dari bait sebelumnya atau di awalnya. Begitu seterusnya, seakan pembaca diingatkan bahwa batang tubuh puisinya itu tidak sekedar menulis runtut dari atas ke bawah lalu selesai, tetapi seperti dia bercerita tentang dari awal sampai akhir, namun mengingatkan sebagian di awal itu merupakan buntut dari akhir ceritanya.

Saya menafsirkan seperti kehidupan ini. Kejadiian yang kita alami dan jalani merupakan sebagian dari akibat perbuatan kita sebelumnya dan begitu seterusnya , kehidupan kitapun dipengaruhi oleh sekeliling kita, alam dan manusianya yang sebagian perilakunya baik langsung dan tidak langsung ikut mempengaruhi perjalan hidup kita ini.

Puisi di atas itu awalnya menceritakan kaos yang sudah kering yang akan dipakai, kemudian ada jenasah yang dikubur dan pengantarnya, lalu tiba tiba di kaosnya ada tanah menempel, guru yang terbakar dan seterusnya, bahkan kemudian timbul kecurigaan antara kaos dan jenasah serta kuburan itu ada sangkut pautnya, begitu juga kehidupan ini. Bisa jadi salah tafsiran saya, namun sebagian besar puisi puisi Afrizal dalam bagian II ini kental seperti itu. Semakin ke dalam membacanya, seperti membaca cermin hidup ini secara tidak langsung.

Ada puisi yang berjudul “rendra diarea lubang bahasa”. Puisi ini panjang terdiri dari 9 bait namun tiap baitnya terdiri minimum 5 baris dan penuh makna. Masing-masing bait itu sendiri sudah kuat dalam penyampaian isinya, seandainya dia berdiri sendiri sudah merupakan sebuah puisi, namun kemudian dirangkai selayaknya seperti membaca sepotong buku harian seorang Afrizal tentang penyair Rendra dalam perjalanan yang dia kenal , sehingga menghasilkan satu tubuh puisi yang begitu kuat bagai pohon beringin (ini tidak dalam rangka kampanye lho ya !)

Dan saya suka sekali dengan penggalan kalimat di bait 8 “dia tahu, seorang penyair hanya lahir dari sebuah atap kalimat yang terbakar. ketika jeritan bahasa membuat sepasang lubang matanya” .
Luar biasa, dua kalimat ini terngiang-ngiang dalam waktu saya yang terkejar jam tayang anggaran yang masih belum disetujui. Ya, seorang penyair hanya lahir dari sebuah atap kalimat yang terbakar, kalau dia lahir dari kalimat yang biasa saja, tak ada letupan dari kata yang dia susun , tak ada gelora, tak ada keliaran , tak ada “sesuatu” untuk disampaikan pada sekelilingnya, pada dunia, layaknya roket “katyusha” yang membuat Israel geram dan ada alasan untuk terus menggempur Gaza pada serangan akhir-akhir ini.

Surprise juga ! ternyata dalam kumpulan di bagian II ini saya menemukan puisi pendek. Judulnya “hujan pagi”. Judul pendek seperti isinya juga.

hujan pagi

di dekatku ada sebuah gunting. hanya sebuah gunting.

ganggangnya plastik.

di luar ayam rebut sekali. membuat tanah berantakan di atas tempat tidurku. seekor anaknya.
- anaknya ---
matanya

----matanya—

memberiku sebuah bahasa. bahasa yang penuh dengan air.

Dengan iringan suara Agnes Monica mengalun lembut menyanyikan “matahariku” dan teringat penulis Lelaki Ikan pengagum Zhi Yie yang juga penggemar berat lagu tersebut, saya menghela nafas terbersit pertanyaan “mengapa kumpulan puisi teman-temanku dari atap bahasa” ini tidak memenangkan KLA ? Mungkin selera juri dan selera saya memang tidak sama dalam menafsirkan sebuah puisi apalagi sekumpulan, kan sebatalyon itu. Akan banyak multi tafsir. Kok seperti tentara saja, sekilas berita Al Jazeera masih menemani saya menutup di malam hujan gerimis yang selalu mengguyur Bogor di bulan Januari ini.

Namun kemudian setelah membaca berita bahwa kumpulan puisi ini dinobatkan oleh majalah Tempo menjadi ”karya sastra terbaik 2008”, sempat juga alam pikiran say bergoyang liar “adalah penobatan ini untuk menutupi kemenangan pada perhargaan yang lain yang seharusnya juga Afrizal terima ?” Ojo no nduso ki !

Bogor, 10 Januari 2009. 23.33 wib.

Monday, January 12, 2009

Di sini

tetapi DIA bermain tangan di sini
DIA kibaskan rambutnya di Manokwari
lalu diambilnya air untuk keramas di Jember
masih belum puas di Nusa Tenggara
DIA berendam di Kalimantan

dibiarkan kekasihnya berlarian di pengungsian
sementara yang lain meributkan Gaza

DIA masih terus berbisik
setelah ini AKU akan bergoyang pinggul

Sulawesi, Sumtera, Jawa, tunggu jam tayangnya

Ilenk
13.01.2009

Monday, December 29, 2008

RENUNGAN AKHIR TAHUN

wah, berlagak menjadi adipati dalam kerajaan besr, pake judul renungan segala.

sebenarnya ya banyak yg direnungi di tahun yg akan lewat ini, langkah tentang hakekat jati diri yg tetap dipelihara di dalam hembusan angin kantor yg semakin tidak bershabat.

walau pada akhirnya menjadi tersingkir, tetapi msih tetap di jalur yang benar dalam meneriakkan kebenran dan kejujuran, yng mana pada akhirnya orang akan tahu, bhwa memperingati eh mengingtkan kepda orang lain akan jalan kebenaran itu teteap harus terus dilaksanakan walau kdang menemui duri landak, namun tetep jalan terus.

rizki itu sudah diatur sma ILAHI, jadi tidak usah binun takut repot, menyuarakan kebenaran, kejujuran, walau kadang kusadari bahwa aku sendiri tidaklah bersih2 amat, tetapi setidaknya awl kehancuran bagi suatu mas itu sudah dapat diprediksi apabila kecurangan sejak awal sudah diantisipasi dan tidak berbuat begono....

tahun 2009 berharap semuanya bisa berjalan sesuai harapan, karier...temans-2...rizki...dan juga cinta...(cie..iki opo tho yoooo???)

ya namanya berharap, berdo'a tentunya yg baik dan bagus dan nikmat......

ada beberapa tugas yg menyita pikiran, disamping run off dari aa pialang juga jdi ketuplak hut apsas...weleh...juga ada pekerjaan yg sisa sisa di tahun 2008 sip menjdi beban prioritas di tahun ..eh di awal 2009.

untuk run off ini, ada enaknya jadi boss di kantor, akhir tahun aku malah disibukkan membuat asumsi, kalau asumsi saja kelihatan gak ngejreng, AAP lg butuh tambahan dana 500 juta sesuai peraturn baru, ada yg mau nombokin tapi perorangan, ini bhaya juga, max kepemilikan hanya 40% supya kendali manajemen masih di asrinda begitu mauny dekom......cuma hari susah gini mana ada tambahan modal eh yg mau nambah modal bagi pemegang saham BUMN, bukankah lagi seret cash flow...???

semoga saja tahun kerbau....eh aku shio kerbau...bis cerah...asl ga cerangapan.....

SELAMAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MASEHI....SEMOGA SUKSES SELALU....

Wakil rakyat wakil syahwat, Negara memisahkan mereka

Buku kumpulan puisi setebal 167 halaman yang terdiri dari 30 puisi dari A Slamet Widodo (A kepanjangan dari Aloysius), cukup mewah dari deretan buku puisi yang biasa saya koleksi. Judul cukup mengundang SELINGKUH dengan gambar grafis kuping lelaki di jewer ini, mengingatkan berita-berita infotainment tentang perselingkuhan yang marak.

Saya sepakat dengan cukilan komentar Triyanto Triwikromo, bahwa puisi Slamet terlihat spontan, segar dan tak bertanggung jawab pada estetika, juga sastra bagi Slamet lebih menjadi media pencerahan melalui canda yang sarat makna bukan karya sakral demikian cukilan dari Nugroho Suksmanto.

Hiburan parodi getir membalut setiap puisinya. Kehidupan sehari hari disekelilingnya menjadi hidup tergambar dengan sentilan canda dan cegek (bahasa Surabaya = kecewa) yang kadang merupakan protet diri kita sendiri.

Dia memasuki tema puisi yang jarang digeluti penyair-penyair lainnya, yang lebih mengutamakan estetika, menampilkan metaforik, mungkin dia cukup lelah dengan pekerjaan sehari-hari yang penuh estetika dan metaforik sebagai pengusaha, maka dia menyelami tema yang bertolak belakang dan menyoroti kehidupan nyata disekelilingnya.

Walau membuat puisi dengan canda, tetapi dari puisi itu ternyata ada terselip kritikan, ajakan dan ada pesan yang dia kirim untuk pembacanya. Kata-kata sederhana, sentilan bikin ketawa dan kadang juga cibiran terasa.

Saya kutipkan sebagian sentilan soal Selingkuh, sajak pada halaman pertama buku tersebut,

selingkuh itu
pengkhianatan perkawinan
karena sering saling “ahh ahh uhh uhh”
maka disebut selingkuh
ada pula yang bilang selingkuh itu
“selingan indah keluarga utuh”
tapi kalau nasib sial menjadi
“selingan indah keluarga runtuh”

Dalam sajaknya yang berjudul Pornogafi dan pornoaksi banyak kata-kata sindiran buat diri sendiri dan kita semua, bahkan juga mengingatkan . Saya kutipkan sebagian,
………………………………………
Di zaman global
siapa bisa mengawasi anak-anak nonton blue film
pencet computer seisi dunia ada di sana
sementara kita orang tua sebagai panutan
suka memutar blue film sendiri di kamar
…………………………………….
Setiap sajaknya terdiri banyak bait, ada yang kadang sampai 25 bait, seperti bercerita, tetapi karena ditulis dengan gaya canda sentilan, pembaca tidak merasa berat atau bosan. Hal ini beda dengan puisi penyair-penyair serius dan berat. Dan yang membuat saya merasa terhibur , puisi Slamet kaya tema.

Tema kehidupan sekitar yang tak akan habis tergali , saya merasakan penyair sekarang banyak miskin tema. Berkutat pada diri sendiri, alam dan tubuh serta cinta melankolis yang diramu dengan kata itu-itu saja. Padahal ada banyak rangkaian kata bisa kita susun dirajutan hidup keseharian kita ini. Slamet berhasil memotret sisi lain dan meramu menjadi berbagai tema di kumpulan puisinya ini.

Pada sajak berjudul LAPINDO, seperti mengingatkan kita akan bencana lumpur itu akibat kelalaian manusia juga
Lumpur panas itu
muncrat dari perut bumi
setelah beribu tahun menyembunyikan diri
sebuah kelalaian manusia
menghantarnya ke permukaan bumi
lumpur panas itu marah
lantaran daerah kekuasaanya dijamah
…………………………………………………………………
(diakhir puisi, penyair inipun masih sempat menyisikan senyum getir pada pembacanya),
…………………………………………………………….
Sidoarjo jadi Sidoancur
kuala lumpur pindah ke jawa timur
menjadi kuali lumpur menjadi kuala kubur
tak masuk ke akal kita…!

Memang tidak masuk akal, gara-gara lumpur ini, setiap saya mau pulang mudik ke Jawa Timur harus jeli mengukur waktu. Sejak tragedi Lapindo, betapa sengsara perjalanan ini, dari Surabaya perjalanan darat ke Jember harus dilakukan pada malam hari kalau tidak akan terjebak macet luar biasa panjang dan lama, karena tidak berfungsinya sebagian jalur tol Surabaya – Gempol akibat terpotong genangan lumpur.

Pada sajak Bencana itu bernama banjir, saya kutipkan penggalan bait di tengah, membuat saya tertawa,
………………………………………….
Ada yang tinggal di real estate berkata
“dulu developer bilang dijamin tidak banjir
sekarang bilang banjir tidak dijamin”
dulu hanya orang tertentu punya kolam renang
sekarang semua orang punya kolam renang
mau meninggalkan rumah takut dijarah
tidak meninggalkan rumah kelaparan menjajah
developer di kelapa gading
terpaksa iklan apartemen dengan bonus perahu karet

Judul-judul puisinya sederhana, dari judul bisa langsung dapat diketahui tema dan isi puisi itu. Seperti puisi berikut ini, yang saya buat judul dari resensi ini. Tema dan isinya menngingatkan kita semua akan dagelan wakil rakyat yang ketahuan selingkuh dengan penyanyi dangdut dan adegan syurnya tersebar dimana-mana yang diambil dari hpnya. Kalau mengingat itu, hati saja menangis sedih, bagaimana tidak sedih wakil rakyat yang seharusnya bermoral tinggi dan bisa menjadi contoh menyebar aroma lendir dengan wanita lain dan itu gambar berhari-hari menghiasi layar kaca, saya sendiri sampai muak, karena ada dua kurcaci saya yang juga kadang nonton berita.

Wakil rakyat wakil syahwat

Ada wakil rakyat kita
orangnya baik dan alim
maka ditunjuk jadi ketua bidang kerohanian
bahkan diprediksi jadi menteri agama
………………………………………….
Seorang penyanyi dangdut
menari midat-midut
membuat ia kepincut
terpesona tak bisa beringsut
……………………………………………..
karena pingin ada memori percintaan
sebagai bagian penting kehidupan
karena godaan setan
peristiwa ajub-ajuban pun divideokan
seperti peristiwa pesta pernikahan
sebuah video porno
mengantar keluarganya jadi nelongso

Sajak sajak Slamet tidak hanya mengambil tema disini, bahkan teropong itu jauh juga menjelajah. Pada sajak yang berjudul SADDAM, mengingatkan seorang presiden Irak yang sebagian rakyatnya mengangkat sebagai pahlawan sekaligus juga pecundang. Salah satu presiden di dunia yang berani melawan hegemoni Amerika Serikat. Saya kutipkan bait akhir dari sajak ini , silahkan pembaca mengisi jawaban dari pertanyaan di akhir baris puisi ini,
………………………………………………………..
Begitulah hukum alam
yang kuat menerkam yang tak berdaya
bush menerkam saddam
orang yang dulu maha kuasa
sekarang tak berdaya
lalu bush diterkam siapa?
ketika saddam berkuasa
selama 30 tahun
200.000 orang mati jadi korbannya
ketika saddam turun tahta kerna amerika
selama 3 tahun 650.000 orang mati
korban perang saudara
lalu yang lebih baik bush atau saddam?

Kalau saya jawabannya sama dengan wartawan Irak yang melempar sepatu kala Bush pidato di Bahdag beberapa waktu lalu, yang menggegerkan dunia dan dalam sekejap membuat otak pembuat game terpacu adrenalinnya.

Disamping sajak diatas, Slamet juga membuat sajak berjudul Guantanamo dan Intifada. Sajak-sajak lain tentang profesipun disinggungnya dalam berpuisi. Dokter, Nelayan, Pengacara, Hakim juga Preman tak luput dari peneropongan Slamet dalam menggali tema untuk isi puisinya.

Lihatlah, sindiran atas profesi Dokter, yang oleh banyak kalangan disorot melakukan malapraktek tetapi selalu lolos dari jeratan hukum. Saya kutipkan sebagian,
……………………………………………..
Dokter
di republik ini
tak kalah pintar dari dokter luar negeri
karena merasa pintar
semua dikerjakan sendiri
tak mau berbagi dengan dokter lain yang ahli
pasien yang mustinya sembuh malah mati

Celakanya rasa bersalah tak ada di hati
yang disalahkan
laboratorium, suster, atau pasien itu sendiri
keluarga korban tak tahu hal ini
keluarganya terbunuh mati
malah mengucapkan terima kasih atas malapraktek ini

Saya jadi teringat almarhumah istri boss yang meninggal 3 tahun silam setelah menjalani operasi pembuluh di jantungnya, kabarnya pada waktu itu tensi beliau sedang tinggi, tetapi dokter tetap melakukan operasi, hanya dalam hitungan jam setelah operasi besoknya meninggal dunia, setelah sebelumnya beberapa hari dirawat. Biaya operasi menghabiskan 150 juta rupiah. Kalau memang kematian sebuah takdir, seharusnya tanpa operasipun almarhumah pasti akan meninggal, tak perlu bersedekah pada dokter dan rumah sakit. Kalau kemudian meninggalkan teka-teki adanya dugaan malapraktek, keluarga menerimanya sebagai sebuah takdir, ironis.

Judul puisi lainnya Sakauw, Merokok, dan juga Viagra tak luput disemainya menjadi kumpulan kata yang menghibur juga memberikan peringatan pada pembacanya.

Merokok
………………………………………
Perokok pembayar setia pajak
seharusnya ia jadi pahlawan
triliunan rupiah disetorkan
tapi perokok jadi hujatan
Bila merokok dilarang istri
bisa bikin suami maki-maki
bila merokok dilarang Negara
pabrik rokok gulung tikar semua
urusan rokok memang dilema
…………………………………………….
Merokok itu
membeli racun
membakar uang
menyantap asap
memperkaya orang
menuai penyakit
membuat ketagihan
bila mau coba silahkan

Dua kurcaciku pastinya tetap saya larang merokok, disamping belum punya uang sendiri, rasanya dalam pikiran saya tetap tidak menyehatkan untuk dompet dan kesehatan tubuh. Saya tetap tidak suka asap rokok, karena rokok bila tidak dihisap tenang saja berbaring di kotaknya, dia indah dipandang, tetapi kalau sudah dipakai dan mengeluarkan kepulan putih itu, maka kontan saya membencinya dan ingin meringkus dan membunuhnya.

Ternyata puisi bisa menari dalam imajinasi pembacanya. Ya, tafsiran isi puisi memang bisa menjadi racun bila penyairnya mampu meracuni pembacanya. Racun kebaikan tentunya yang selalu diharapkan juga peringatan keburukan dari pesan yang ingin disampaikan penyair pada pembacanya. Karena dimata saya penyair juga bisa bertindak seperti rasul layaknya dalam menyampaikan pesan Ilahi lewat rangkaian kata-kata yang disusunnya.

Pembacaan saya sudahi dengan hentakan lagu Goyang Duyu dari Project Pop menggema riang, seriang sajak-sajak Slamet namun meninggalkan bekas yang arif untuk diingat dan dicerna.

Bogor, 21 Desember malam hari ibu, dalam cuaca mendung.

NATAL 1989, ANDUNG-ANDUNG PETUALANG IBU SEORANG PENYAIR

Kali ini kumpulan puisi yang berjudul otobiografi ([sic] November 2007) dari penyair Saut Situmorang yang berisi puisi-puisi yang diramunya dalam kurun waktu 1987-2007, dengan tebal halaman 282 dan total jumlah puisi sebanyak 184 buah, saya jelajahi dalam penerawangan mata hati seorang awam.
Memasuki alam pikiran seorang Saut, bagi yang belum mengenal secara luas bagaimana dia memposisikan diri dalam kancah sastra kontemporer Indonesia, yang selalu berani dan konsisten di jalur perlawanan terhadap hegemoni kelompok tertentu yang selama ini berusaha untuk mendominasi sastra Indonesia, tentunya akan sangat berbeda penilaiannya dengan yang sudah mengenal tulisan-tulisan dan ucapan yang cukup membuat kuping pembaca atau mata lawannnya menadi meradang.
Saut dalam puisi-pusinya justru terkandung nilai-nilai manusiawi pada umumnya seorang bersikap. Kelembutan pada puisi, juga humor bernada getir dan kadang kenakalan dalam romantisme dan pemberontakan pada situasi sekelilingnya lebih dirasakan daripada seorang Saut yang penyerang dan bersuara keras.
Dalam pengantar buku tersebut yang dia tulis sendiri bahwa ciri para penyair di dunia puisi kontemporer Indonesia periode 1990an memilih kesederhanaan bahasa sehari-hari, kesederhanaan bahasa leksikal-gramatikal sehari-hari yang lugas tidak rumit, dengan tidak mengorbankan musikalitas dan visualitas bahasa, untuk mengungkapkan realitas puitis. Bahkan dia tambahkan juga sebuah motif dominan lain pada puisi para penyair 1990an adalah Politik. Hal ini berkaitan dengan dibaginya kumpulan dalam buku tersebut dalam 3 babak yaitu Cinta, Politik dan Rantau.
Dalam penjelajahan pertama yaitu CINTA dari 3 babak imajinasi seorang Saut, dengan diiringi petikan gitar Bahalawan menari, sajak dengan judul “tidurlah cicak”, “sajak cicak”, “boraspati”, “tenunlah bendera o laba laba” dan “cicak mabuk”, sudah membuat diriku seperti melihat seseorang membuat pot keramik. Dimulai dari sebongkah tanah liat yang kemudian ditaruhnya dalam lempengan kayu pada mesin pemutar membentuk pot keramik sesuai yang diinginkan. Berputarnya mesin dan bongkahan tanah liat yang semakin besar membentuk pot ini yang tergambar dalam imajinasi saya membaca puisi-puisi tersebut.
Betapa makna yang tersirat dari kata “cicak” akan terasa semakin dalam seperti kumparan yang berputar semakin cepat dan berakhir dengan klimaks setelah selesai membaca keempat syair tersebut.
Saya kutipkan pada sajak pertama di akhir bait tertulis

cicak cicak di dinding dinding
tidurlah
tidur

kemudian pada syair ke dua,

hormatilah cicak cicak di dinding rumahmu

yang ke tiga ,

kata kata terbakar lilinlah makananMu!

Yang ke empat ,

lalu berpawailah di sekeliling langit langit kamar!

Terakhir ,

cicak mabuk di dinding
bayangannya menari sempoyongan di lilin kamar
mengikuti gitar Lightning Hopkins
dan hei, bukankah itu Li Po yang baru datang!

Penggambaran seperti kehidupan ini, mengikuti siklus yang dipelajari dalam mata rantai makanan pelajaran biologi, yang kemudian dihubungkan dengan watak manusia lewat pengertian bahwa di atas langit masih ada langit begitu seterusnya, kegetiran dan kegembiraan datang silih berganti walau tidak seperti yang diharapkan bahkan kadang memabukkan sejenak, menjadi orang lain dalam diri sendiri.
Kelembutan penyair ini kutemukan dalam beberapa puisi bahkan kadang tergores muram dan getir. Pada puisi yang dia buat setelah kawannya dari Kanada meninggal dunia dengan bunuh diri menggantung di kamar mandi di Medan. Syair itu berjudul “untuk Bill Russon, Medan, Oktober 1988”. Suara Daniel Powter menyanyikan Bad Day lamat-lamat menemani saya menyelaminya,

kematian
seperti ular juga mengganti kulitnya
dia jadi malam di kotamu yang gelap
dengan rakus dia makan bulan & bintang bintang yang
menyerah tak berdaya
dia makan juga lampu lampu neon di hotel hotel
jalan-jalan utama kota & lilin lilin redup gubuk gubuk perbatasan
dia jadi burung malam yang menjerit jerit di langit di atas
rumahmu
jadi derak pintu & jendela yang tak terkunci rapat

Kelembutan dan kegetiran juga tergores dalam puisinya yang berjudul ”Natal 1989”. Saya katakan sejujurnya puisi ini sangat kuat menggambarkan kerinduhan seorang anak terhadap ibunya yang sudah lama meninggal, hati penyair ini akan sama dirasakan oleh jutaan anak-anak di dunia terhadap kehilangan ibu pusatnya gudang rasa kasih dan maaf yang tak tergantikan, walau kita ini sekeras batu hati ini terbuat, namun IBU tetap bisa meluluh lantakkan rasa itu. Itulah alasan saya mengapa kemudian judul puisi ini saya ambil menjadi judul esai dalam memandang kumpulan puisi Saut Situmorang ini. Kali ini Michael Buble menemani dengan Home-nya, suara jengkrik di pot bunga terdengar nyaring.

Natal 1989

hari ini
genap lima tahun
aku tak merayakan natal bersamamu

di sudut ruang tamu
yang biasanya berdiri pohon natal
sekarang cuma ada sarang laba laba
dan debu –
pohon natal itu juga pergi bersamamu

di gereja ada pohon natal besar
orang orang gembira dan lilin di tangan mereka terbakar
hari ini mereka merayakan pesta –
bagiku genap lima tahun kita berpisah

seorang ibu melemparkan kembang api ke langit
dan anaknya bersorak sorak mandi hujan cahaya
aku bersihkan sarang laba laba dan debu
dari sudut ruang tamu tempatmu dibaringkan lima tahun yang lalu

Membaca bait terakhir kepedihan itu terasa tergores dalam, saya membayangkan adakah setetes air mata di sudut mata penyair ini ketika menyudahinya? Adakah dia masih merindukan “mamak” pada setiap natal yang setia hadir? Saya rasa pasti itu, apalagi bila sejenak dalam diri ini merasakan tak punya siapa siapa, sendiri dalam hidup ini, lainnya dianggap debu. Sayup-sayup suara lonceng gereja menggema, dalam lamunan seperti ada gemerincing jejak Sinterklas menapaki awan .
Disamping itu masih ada tiga puisinya yang menggambarkan akan jalinan antara dia dan almarhum ibunya, dalam puisi yang berjudul “andung andung petualang”, saya kutip sebagian, karena puisi ini cukup panjang dalam 19 bait,

“kalau kau pergi , anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

matahari panas
angin berhembus panas
bus tua meninggalkan kota
aspal jalanan melarikannya selamanya

“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

kota berganti kampung
sawah berganti gunung
anak lelaki dekat jendela
lagu petualang jadi hidup di darahnya

“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

kampung menjelma kota
gunung gunung kembali rumah rumah
begitulah berhari bermalam
makin jauh anak dalam perjalanan tenggelam

“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

menyeberang laut menyeberang pulau
beribu gunung kota terlampaui
di negeri seberang di negeri baru
anak melangkah masuk hidup perantau

…………………………………………………………………

Keseluruhan 19 bait itu terangkai begitu indahnya, menceritakan awal dia berangkat merantau dengan dihantar hati ibu yang galau, gambaran yang terasa pilu memendam rindu dendam pada keadaan yang memisahkan penyair dan ibunya sampai kematian kemudian tiba.
Ada catatan kaki di bawah sajak ini, memberikan sekilas gambaran tentang ”andung-andung” yang merupakan nyanyian ratapan kematian di kalangan orang Batak Toba, isinya berupa kisah hidup yang meninggal dan dinyanyikan dalam bentuk performance tunggal di hadapan jasadnya. Ternyata penyair Batak ini tetap tidak meninggalkan aroma tradisinya dalam penciptaan syair-syairnya. Bagi saya ini suatu kelangkaan, banyak penyair kontemporer Indonesia masa kini, kadang terlarut dalam hiruk pikuk kata, jarang mengangkat tema tradisi mereka sendiri dalam memperkaya khasanah penciptaan puisinya, sehingga akan melestarikan tradisi itu sendiri, namun juga akan menambah wawasan pembacanya akan berbagai ragam tradisi yang melatar-belakangi kehidupan penyair itu sendiri. Imajinasi luas tak terbatas, begitu juga ada sejuta kata yang tak sama dapat diambil dari sekeliling kita sehari hari, seharusnya tak ada kata-kata yang itu itu saja muncul di syair-syair penyair sekarang ini juga temanya, karena tradisi memperkaya tema dan kata.
Pada puisi yang berjudul “ibu seorang penyair”, menggambarkan awal ibu melahirkan sampai kemudian meninggal dunia ditorehkan dengan kesederhanaaan kata, namun tutur bahasa pengulangan yang begitu pilu, menambah goresan kelembutan hati penyair ini terpampang jelas.

ibu yang menangis
menunggu kelahirannya

ibu yang menangis
kesakitan melahirkannya

……………………………………..

ibu yang menangis itu
tak menangis lagi
airmatanya sudah habis

sekarang Dia tidur
di antara rumputan di antara bintang bintang
di langit

Kemudian klimaksnya adalah puisi yang berjudul “hanya airmata dan terik matahari yang mengerti”

rumput rumput sudah mulai panjang
dan seperti rambut kusut
merambati permukaan gundukan tanah
yang tak lagi berwarna merah
waktu aku datang mengunjungimu

pertemuan kita ini
punya arti
hanya airmata dan terik matahari
yang mengerti
…………………………………………………………
ada yang bilang tak boleh noleh ke belakang’kalau kaki sudah beranjak mau pulang
tapi dari jauh
kulihat salib kayumu
tegak penuh
seperti dirimu waktu melepasku
di pelabuhan dulu

Dalam sisi yang lain kematian binatang peliaraannya berupa kucing, mampu juga membuat penyair ini menggoreskan kata-kata mengenangnya dalam rangkaian yang indah dan menyentuh. Dalam smsnya pada saya beberapa waktu lalu, dia ceritakan bahwa kucing itu dibawa dari Medan kemudian sempat ke Eropa mengalami masa karantina 3 bulan sampai kemudian selamat di Selandia Baru. Eh, sampai di sana mati dipukul orang. Saya sempat mengira ini seekor anjing, maklum di otakku tercemar Batak kan suka anjing, tak tahu kalau ini kucing.
Lentingan suara Mariah Carey mendendangkan We belong together berbarengan dengan suara kucing tetangga mengeong sejenak, seakan kucing itu menerima tanda saya sedang membaca sajak tentang kematian kucing.

elegi claudie

di atas tanah
lembab
terlindung
beberapa rumput berduri

dia terbaring

bulu badannya
yang putih
dan pirang

tegak memanjang
dari leher

ke ujung punggungnya

kedua kaki depannya
agak terdorong ke muka
dan kaki belakangnya
keduanya tertekuk

seolah dia sedang mengamati sesuatu

kedua matanya
terbuka
terbelahak
dan mulutnya menganga

waktu kuangkat
ke pangkuanku
badannya
sudah dingin

sorenya
dokter bilang
nadi ke hatinya

pecah-

seseorang pasti memukulnya

besoknya aku
kubur dia
di atas bukit (di belakang rumah)

yang memandang ke lembah

wellington, juni 1990

Tipologi penulisan yang terpotong potong ke bawah menggambarkan betapa hati penyair ini membuat susunan kata-kata dengan terbata-bata seperti seorang anak kecil yang menangis dalam sedu sedannya bercerita ketika menjumpai hewan peliharaan mati dengan sangat mengenaskan, hancur hati, dia membuat begitu jelas intonasi kata pada baris tersendiri untuk “dia terbaring”, kemudian “seolah dia sedang mengamati sesuatu” dan terakhir penyebab kematian “pecah”. Penyair ini telah memberikan “tanda” intonasi kata apabila ada pembaca yang akan membacakan puisinya, sehingga puisi ini akan semakin hidup. Kadang pembaca sering menemukan kesulitan dalam membacakan puisi penyair. Apabila tidak terbiasa baca puisi, apalagi bagi seorang awam. Namun dalam puisi di atas ini, Saut juga memberikan semacam kemudahan dalam membaca karyanya terutama bagi orang awam untuk suatu ketika dibaca di depan publik.
Dalam babak Cinta ini, saya justru menemukan penggambaran romantisme masa pacaran penyair ini yang dibuat dalam bentuk puisi kurang begitu dalam dan kesannya kering di permukaan dan saya rasakan agak kasar, entahlah apa karena ada penggambaran hubungan yang terlalu gamblang dalam kata-kata atau mungkin saya sendiri sudah terhanyut berkubang sebelumnya dengan sajak-sajak dia dalam hubungan dengan kemanusiaan juga tentang kehidupan yang justru digambarkan dengan kelembutan hati penyair yang selalu ada dalam gambaran saya selama ini.

Ada banyak sajak yang dalam, sebagai contoh ”karena laut sungai lupa jalan pulang”, soal Gempa Yogja, “Santiago”, “penyair dan danau”, ”marilah kita mabuk”, “bocah pemancing ikan” dan sajak dia yang terkenal “saut kecil bicara dengan tuhan”.
Bahkan dalam kejadian gempa Yogja, dia masih sempat bermain nakal dalam imajinasi dengan puisi yang berjudul “aku ingin” kukutip sebagian , dengan lirih suara dentingan piano Christian Bautista dalam the way you look at me mengalun sendu ,

aku ingin bercinta denganmu
waktu gempa lewat

di kota kita

saat itu
pasti tak ada
keluh cemas , sinar mata ketakutan
atau gemetar kakimu
yang membuatku termangu
…………………………………………..

Ada beberapa puisinya yang menceritakan gempa ini, dan semuanya dia buat dengan pendalaman makna walau tersusun dari kata-kata yang sederhana. Bagi orang awam yang membacanya dapat ikut serta merasakan goncangan gempa itu dan sayatan pilu bagi korbannya. Bahkan saya sempat terjatuh dari kursi ternyata mor-bautnya copot.
Dalam imajinasi kemudian dituangkan melalui bait bait puisinya, saya menemukan beberapa puisi dengan gaya bagaikan kumparan membentuk sebuah gelas kaca, berputar-putar menggelembung. Beberapa puisinya seperti ini dalam gambaran saya ketika membacanya: ”insomania”,”sajak mabuk”, ”sajak musim salju”.
Saya kutipkan sajak “insomania”

hampir.tengah.malam.jalan.
jalan.kota.sudah.sepi.mobil
kadang.lewat.lewat.mengiris.dingin.malam.
di.kamar.sendiri.aku.mendengar.
……………………………………………

Perhatikan penulisan setiap kata yang diakhiri tanda titik, menggambarkan bagaimana kesulitan kita untuk tidur. Bagi penderita insomania akut, penggambaran kesulitan memejamkan mata terasa dalam kata-kata yang dia tulis dengan akhiran titik. Saya melihat seperti kelopak mata ini sejenak terpejam, sejenak lagi terbuka terus menerus seperti itulah kiranya tafsir saya terhadap apa yang ditulis penyair ini dengan setiap kata langsung diakhiri titik. Padahal kalau dibaca dengan membuang tanda baca “titik” tadi akan tersususn baris-baris kata puisi biasa pada umumnya, namun di sini penyair tidak hanya menyampaikan isi puisi itu namun dia juga menggambarkan penyampaian itu seperti pembaca ini mengalami juga penyakit “insomania” dengan kejelasan titik-titik dalam setiap kata yang tersusun itu. Luar biasa!
Di sini kemudian saya menemukan sisi lain dari Saut penyair garis keras ini (sebagian teman sastrawan menilai dia begitu), rocker garis cadas atau metal kali ya kalau pada aliran musik. Namun saya tak setuju seratus persen terhadap penilaian ini. Justru dalam syair syairnya itu banyak saya temui kelembutan seorang penyair yang sebenarnya, juga rasa tanggung jawab dia terhadap pembelajaran bagi pembacanya bagaimana dia menuntun pembaca untuk dapat menangkap apa yang ingin dia sampaikan, apa yang ingin dia ceritakan dengan segudang petualangannya selama ini mencari kehidupan dan membentuk kehidupan dia selanjutnya. Kata baginya tidak hanya sekedar rangkaian memilah milah, menggabung gabung, tapi bagaimana kata disusun dalam kontek tradisi juga pembacaan yang diatur dengan memberikan semacam tanda bagi pembaca yang mendalami puisi puisinya. Hal ini sangat jarang saya temui pada puisi-puisi penyair lain.
Saut yang gegap gempita dalam konsistensi pendapat dan pemikiran juga tercermin dalam babak ke dua yang berjudul POLITIK.
Sajak sajaknya pada babak ini luar biasa, penuh tenaga dan dorongan, kuat dalam penyampai ide dan kesederhanaan kata itu berhasil membuat beberapa teman kecil saya di SMA bisa memahami mengapa seorang penyair juga harus peka terhadap kejadian yang ada di lingkungan sekitarnya, tidak hanya situasi kemanusiaan, namun juga merembet pada keadaaan Negara, perjuangan kantong-kantong perlawanan yang ada di masyarakat pada umumnya.
”Sajak mimpi untuk Widji Thukul”, ”marsinah”, ”dari berita di sebuah majalah”. Puisi terakhir ini sempat membuat mata hati saya meradang merah dan menggigil
Saya kutipkan sebagian dengan ditemani lolongan Celien Dion dalam the power of love,

bocah perempuan itu pecah jantungnya
waktu dituduh mencuri perhiasan tetangga
airmatanya cuma minyak
memarakkan api di dada sang angkara murka

lalu seorang polisi membawa bocak kecil itu
ke kantornya. lalu polisi itu menendang
badan kecilnya ke dalam sel yang terlalu
besar buat rasa takut di matanya
dia tak pernah mencuri perhiasan siapa
siapa jawabnya waktu sebuah kepalan
tangan raksasa menghancurkan semua
keriangan kanak kanaknya
selamanya
lalu perempuan kecil itu direndam
bagai selembar sarung kotor di bak mandi
kantor polisi
lalu perempuan kecil itu dinikmati
jerit kesakitannya oleh dua polisi
yang duduk merokok di kursi yang memaku kuku kakinya
ke semen lantai!

Puisi ini cukup panjang, dan membuat saya tak mampu membaca habis, karena tanpa sadar airmata mengaburkan kata-kata itu dan lamat-lamat seperti terdengar suara penyiar dalam acara buser atau jejak pembunuh entah apalagi di televisi dalam acara yang biasanya mengulas pembunuhan yang sudah dikemas menjadi barang tontonan menarik dan acara ini telah menjadi semacam ”guide” bagi lahirnya pembunuh pembunuh selanjutnya di masyarakat. Ya, acara televisi yang paling saya benci dan kurcaci saya larang untuk menontonnya, takut dia akan menjadi pembunuh dalam dunia lain.
Kebobrokan moral, ketidak adilan dan tingkah laku masyarakat di sekeliling ini, memang tak luput dari goresan imajinasinya yang pilu dan dalam. ”sajak orang orang buangan”, ”surat bawah tanah”, ”catatan subversif tahun 1998”, juga puisinya tentang kejadian Mei 1998, ”aku adalah mayat” dan masih banyak lagi, yang begitu kuat menggambarkan situasi peristiwa yang berhubungan dengannya.
Ada satu puisi dalam babak ini yang begitu menyentuh judulnya “inilah aku”

inilah wajahku
yang kau siarkan di media massamu
tak perlu lagi kau memburuku

inilah tanganku
yang kau tuduh menulis hasutan hasutan itu
tak perlu lagi kau memburuku

inilah kakiku
yang kau katakan lari dari tanggungjawabku
tak perlu lagi kau memburuku

dan inilah dadaku
yang kau fitnah penuh benci pada negeriku sendiri
tembaklah dengan senapanmu

kalau kau berani melawan nuranimu!

Pada babak terakhir buku kumpulan ini RANTAU lebih banyak memuat puisi puisinya dalam bahasa Inggris, yang memperjelas kalau penyair ini merantaunya di negeri sono. Ada beberapa yang merupakan terjemahan puisi dia dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris seperti “1966”, “totem”, “subversive notes 1998”, “a letter from the underground”, “imagine we were in Dili”. Judul yang terakhir ini, sebelumnya dalam bahasa Indonesia terdapat dalam babak POLITIK ini cukup menggelikan setelah membacanya. Saya kutipkan dengan keriangan Michael Learns dalam the actor dari jauh mengalun lembut,

seandainya kita di Dili imagine we were in Dili

“jangan tembak, pak! “don’t shoot, sir!
jangan tembak! please don’t shoot I’m an Indonesian!
saya ini orang Indonesia! look! here’s my ID card.
lihat KTP saya KTP Jakarta!!!” it was issued in Jakarta!!!”

“wah, tenane, lho sialan! “It’s true, shit!
ya sudah. Hayo sembunyi! okay, go and hide in sana di Koramil. ourheadquarters. Hurry up!
kok wong Indonesia ada di jalan, what the hell is an Indonesian doing out in the street,
pengen mati, ya! diancuk!!!” do you want to get shot dead, eh? hurry up! bastard!”

15 september 1999

Saya baru tahu kalau pisuh pisuhan bahasa Suroboyoan itu dalam bahasa Inggris jadi “bastard”, tapi kayaknya lebih enak dalam bahasa aslinya deh! terasa nendang diintonasinya. Dan saya bisa lebih leluasa misuhi wong bule dengan aslinya, kalau diterjemahkan kurang makyus. Dan Saut dalam puisi tersebut berupaya melucu namun getir. Bahasa sulitnya parody satire, dalam perang yang kejam selalu ada kelucuan terselip.
Buku tebal bergambar narsis habis penyairnya ini diambil kala dia masih imut dan menggemaskan, apakah sudah gede begini masih menggemaskan? Tentunya hanya untuk seorang Katrin Bandel hal ini masih menggemaskan dan bagi lawannya yang suka dikritik, Saut pun masih menggemaskan (barangkali?), rasanya tak habis habis untuk digali dan diselami. Bagi saya yang belum bertatap muka dengannya, walau sudah sering kontak by sms dan membaca beberapa esainya yang ditulis cukup serius, setidaknya cukup memberikan gambaran seorang Saut Situmorang yang sebenarnya mempunyai sisi bertolak belakang dengan gaya lantang bicaranya apalagi bila dia menemukan ketidak adilan dalam perjalanan sastra Indonesia saat ini.
Di akhir buku ini ditutup dengan tiga puisinya yang berjudul “Blues for Allah 1” , “Blues for Allah 2”, dan “Blues for Allah 3”, puisi puisi ini sangat pendek, orang bilang walau dia pendek tapi padat berisi dan telak. Bahkan untuk puisi “Blues for Allah 3” tidak ada isinya, kosong melompong, dibiarkan pembacanya untuk bebas mau menulis apa.
Iringan lembut Whitney Houston dalam I will always love you mengantarku menyelami dua puisi terakhir ini.

Blues for Allah 1

the sky’s so blue the kids’re playing
then the sea rose and ate up everything –
tsunami

Blues for Allah 2

the lonely moon and
the silent night are what the
tsunami left behind

Blues for Allah 3



Penilaian saya akan puisi-puisi Saut yang mudah untuk dicerna pembaca awam ini, tidak terikat dengan metafora yang jelimet, namun centang perentang dalam penyampaian gagasan juga penilaian dan perlawanan terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya, membuat saya pribadi tak lelah menikmati puisi-puisinya. Walau ada beberapa puisi panjang dalam bait dan barisan kalimat, tetapi tidak memanjang satu kalimat oleh puluhan kata ini, sehingga bagi saya yang penggemar berat puisi yang tidak bertele-tele, terasa nyaman di mata dan di hati.
Puisi-puisinya mewakili karakter dia sebenarnya, di satu sisi lembut, lucu dan romantis kering, di sisi lain garang perlawanan dan lantang tergores. Jadi ingat cerita Vendetta dengan lambang “V”nya yang terkenal itu.

Bogor, Sore hujan gerimis,minggu malam hari raya qurban, 7 desember 2008. 17.07 wib

Sunday, November 30, 2008

coretan awal desember 2008

sebentar lagi awan berganti dengan wajah baru
banyak kenangan lalu memaksa diri berdiri
padahal sudah menemukan sandaran empuk
untuk sekedar melepas punggung yang menyiksa perjalanan

kali ini tahun riak terasa agak menyita pikiran
walau cuman sedepa tak lebih
namun cukup dalam dirasa
kang aku sendiripun sampai hari ini suk bertanya
ada sesuatu pada pikirannyakah yang membuat
putih tiba-tiba menjadi hitam
dan hitamnya lebih hitam dari lelehan tir untuk membuat jalan
dan lekatnya melebihi lelehan coklat

dendam, benci tiba-tiba terakhir mengiringi langkah ini
tak tahu dari mana datang
tapi dengan helaan nafas kesabaran
semuanya akan terkikis

kesabaran ini tetap teruji sampai kapanpun
seperti kitab suci katakan
diam selalu emas
diam kendalikan emosi
diam tak peduli
diam puncak kesabaran
diam
diam

goresan diatas kutulis buat teman-teman sejati di Kurawa gans's yang dengan kesabaran tinggi menghadapi kerikil yang cukup tajam walau bentuknya kecil....

sukses selalu

8.35wib