Monday, December 29, 2008

RENUNGAN AKHIR TAHUN

wah, berlagak menjadi adipati dalam kerajaan besr, pake judul renungan segala.

sebenarnya ya banyak yg direnungi di tahun yg akan lewat ini, langkah tentang hakekat jati diri yg tetap dipelihara di dalam hembusan angin kantor yg semakin tidak bershabat.

walau pada akhirnya menjadi tersingkir, tetapi msih tetap di jalur yang benar dalam meneriakkan kebenran dan kejujuran, yng mana pada akhirnya orang akan tahu, bhwa memperingati eh mengingtkan kepda orang lain akan jalan kebenaran itu teteap harus terus dilaksanakan walau kdang menemui duri landak, namun tetep jalan terus.

rizki itu sudah diatur sma ILAHI, jadi tidak usah binun takut repot, menyuarakan kebenaran, kejujuran, walau kadang kusadari bahwa aku sendiri tidaklah bersih2 amat, tetapi setidaknya awl kehancuran bagi suatu mas itu sudah dapat diprediksi apabila kecurangan sejak awal sudah diantisipasi dan tidak berbuat begono....

tahun 2009 berharap semuanya bisa berjalan sesuai harapan, karier...temans-2...rizki...dan juga cinta...(cie..iki opo tho yoooo???)

ya namanya berharap, berdo'a tentunya yg baik dan bagus dan nikmat......

ada beberapa tugas yg menyita pikiran, disamping run off dari aa pialang juga jdi ketuplak hut apsas...weleh...juga ada pekerjaan yg sisa sisa di tahun 2008 sip menjdi beban prioritas di tahun ..eh di awal 2009.

untuk run off ini, ada enaknya jadi boss di kantor, akhir tahun aku malah disibukkan membuat asumsi, kalau asumsi saja kelihatan gak ngejreng, AAP lg butuh tambahan dana 500 juta sesuai peraturn baru, ada yg mau nombokin tapi perorangan, ini bhaya juga, max kepemilikan hanya 40% supya kendali manajemen masih di asrinda begitu mauny dekom......cuma hari susah gini mana ada tambahan modal eh yg mau nambah modal bagi pemegang saham BUMN, bukankah lagi seret cash flow...???

semoga saja tahun kerbau....eh aku shio kerbau...bis cerah...asl ga cerangapan.....

SELAMAT TAHUN BARU HIJRIYAH DAN MASEHI....SEMOGA SUKSES SELALU....

Wakil rakyat wakil syahwat, Negara memisahkan mereka

Buku kumpulan puisi setebal 167 halaman yang terdiri dari 30 puisi dari A Slamet Widodo (A kepanjangan dari Aloysius), cukup mewah dari deretan buku puisi yang biasa saya koleksi. Judul cukup mengundang SELINGKUH dengan gambar grafis kuping lelaki di jewer ini, mengingatkan berita-berita infotainment tentang perselingkuhan yang marak.

Saya sepakat dengan cukilan komentar Triyanto Triwikromo, bahwa puisi Slamet terlihat spontan, segar dan tak bertanggung jawab pada estetika, juga sastra bagi Slamet lebih menjadi media pencerahan melalui canda yang sarat makna bukan karya sakral demikian cukilan dari Nugroho Suksmanto.

Hiburan parodi getir membalut setiap puisinya. Kehidupan sehari hari disekelilingnya menjadi hidup tergambar dengan sentilan canda dan cegek (bahasa Surabaya = kecewa) yang kadang merupakan protet diri kita sendiri.

Dia memasuki tema puisi yang jarang digeluti penyair-penyair lainnya, yang lebih mengutamakan estetika, menampilkan metaforik, mungkin dia cukup lelah dengan pekerjaan sehari-hari yang penuh estetika dan metaforik sebagai pengusaha, maka dia menyelami tema yang bertolak belakang dan menyoroti kehidupan nyata disekelilingnya.

Walau membuat puisi dengan canda, tetapi dari puisi itu ternyata ada terselip kritikan, ajakan dan ada pesan yang dia kirim untuk pembacanya. Kata-kata sederhana, sentilan bikin ketawa dan kadang juga cibiran terasa.

Saya kutipkan sebagian sentilan soal Selingkuh, sajak pada halaman pertama buku tersebut,

selingkuh itu
pengkhianatan perkawinan
karena sering saling “ahh ahh uhh uhh”
maka disebut selingkuh
ada pula yang bilang selingkuh itu
“selingan indah keluarga utuh”
tapi kalau nasib sial menjadi
“selingan indah keluarga runtuh”

Dalam sajaknya yang berjudul Pornogafi dan pornoaksi banyak kata-kata sindiran buat diri sendiri dan kita semua, bahkan juga mengingatkan . Saya kutipkan sebagian,
………………………………………
Di zaman global
siapa bisa mengawasi anak-anak nonton blue film
pencet computer seisi dunia ada di sana
sementara kita orang tua sebagai panutan
suka memutar blue film sendiri di kamar
…………………………………….
Setiap sajaknya terdiri banyak bait, ada yang kadang sampai 25 bait, seperti bercerita, tetapi karena ditulis dengan gaya canda sentilan, pembaca tidak merasa berat atau bosan. Hal ini beda dengan puisi penyair-penyair serius dan berat. Dan yang membuat saya merasa terhibur , puisi Slamet kaya tema.

Tema kehidupan sekitar yang tak akan habis tergali , saya merasakan penyair sekarang banyak miskin tema. Berkutat pada diri sendiri, alam dan tubuh serta cinta melankolis yang diramu dengan kata itu-itu saja. Padahal ada banyak rangkaian kata bisa kita susun dirajutan hidup keseharian kita ini. Slamet berhasil memotret sisi lain dan meramu menjadi berbagai tema di kumpulan puisinya ini.

Pada sajak berjudul LAPINDO, seperti mengingatkan kita akan bencana lumpur itu akibat kelalaian manusia juga
Lumpur panas itu
muncrat dari perut bumi
setelah beribu tahun menyembunyikan diri
sebuah kelalaian manusia
menghantarnya ke permukaan bumi
lumpur panas itu marah
lantaran daerah kekuasaanya dijamah
…………………………………………………………………
(diakhir puisi, penyair inipun masih sempat menyisikan senyum getir pada pembacanya),
…………………………………………………………….
Sidoarjo jadi Sidoancur
kuala lumpur pindah ke jawa timur
menjadi kuali lumpur menjadi kuala kubur
tak masuk ke akal kita…!

Memang tidak masuk akal, gara-gara lumpur ini, setiap saya mau pulang mudik ke Jawa Timur harus jeli mengukur waktu. Sejak tragedi Lapindo, betapa sengsara perjalanan ini, dari Surabaya perjalanan darat ke Jember harus dilakukan pada malam hari kalau tidak akan terjebak macet luar biasa panjang dan lama, karena tidak berfungsinya sebagian jalur tol Surabaya – Gempol akibat terpotong genangan lumpur.

Pada sajak Bencana itu bernama banjir, saya kutipkan penggalan bait di tengah, membuat saya tertawa,
………………………………………….
Ada yang tinggal di real estate berkata
“dulu developer bilang dijamin tidak banjir
sekarang bilang banjir tidak dijamin”
dulu hanya orang tertentu punya kolam renang
sekarang semua orang punya kolam renang
mau meninggalkan rumah takut dijarah
tidak meninggalkan rumah kelaparan menjajah
developer di kelapa gading
terpaksa iklan apartemen dengan bonus perahu karet

Judul-judul puisinya sederhana, dari judul bisa langsung dapat diketahui tema dan isi puisi itu. Seperti puisi berikut ini, yang saya buat judul dari resensi ini. Tema dan isinya menngingatkan kita semua akan dagelan wakil rakyat yang ketahuan selingkuh dengan penyanyi dangdut dan adegan syurnya tersebar dimana-mana yang diambil dari hpnya. Kalau mengingat itu, hati saja menangis sedih, bagaimana tidak sedih wakil rakyat yang seharusnya bermoral tinggi dan bisa menjadi contoh menyebar aroma lendir dengan wanita lain dan itu gambar berhari-hari menghiasi layar kaca, saya sendiri sampai muak, karena ada dua kurcaci saya yang juga kadang nonton berita.

Wakil rakyat wakil syahwat

Ada wakil rakyat kita
orangnya baik dan alim
maka ditunjuk jadi ketua bidang kerohanian
bahkan diprediksi jadi menteri agama
………………………………………….
Seorang penyanyi dangdut
menari midat-midut
membuat ia kepincut
terpesona tak bisa beringsut
……………………………………………..
karena pingin ada memori percintaan
sebagai bagian penting kehidupan
karena godaan setan
peristiwa ajub-ajuban pun divideokan
seperti peristiwa pesta pernikahan
sebuah video porno
mengantar keluarganya jadi nelongso

Sajak sajak Slamet tidak hanya mengambil tema disini, bahkan teropong itu jauh juga menjelajah. Pada sajak yang berjudul SADDAM, mengingatkan seorang presiden Irak yang sebagian rakyatnya mengangkat sebagai pahlawan sekaligus juga pecundang. Salah satu presiden di dunia yang berani melawan hegemoni Amerika Serikat. Saya kutipkan bait akhir dari sajak ini , silahkan pembaca mengisi jawaban dari pertanyaan di akhir baris puisi ini,
………………………………………………………..
Begitulah hukum alam
yang kuat menerkam yang tak berdaya
bush menerkam saddam
orang yang dulu maha kuasa
sekarang tak berdaya
lalu bush diterkam siapa?
ketika saddam berkuasa
selama 30 tahun
200.000 orang mati jadi korbannya
ketika saddam turun tahta kerna amerika
selama 3 tahun 650.000 orang mati
korban perang saudara
lalu yang lebih baik bush atau saddam?

Kalau saya jawabannya sama dengan wartawan Irak yang melempar sepatu kala Bush pidato di Bahdag beberapa waktu lalu, yang menggegerkan dunia dan dalam sekejap membuat otak pembuat game terpacu adrenalinnya.

Disamping sajak diatas, Slamet juga membuat sajak berjudul Guantanamo dan Intifada. Sajak-sajak lain tentang profesipun disinggungnya dalam berpuisi. Dokter, Nelayan, Pengacara, Hakim juga Preman tak luput dari peneropongan Slamet dalam menggali tema untuk isi puisinya.

Lihatlah, sindiran atas profesi Dokter, yang oleh banyak kalangan disorot melakukan malapraktek tetapi selalu lolos dari jeratan hukum. Saya kutipkan sebagian,
……………………………………………..
Dokter
di republik ini
tak kalah pintar dari dokter luar negeri
karena merasa pintar
semua dikerjakan sendiri
tak mau berbagi dengan dokter lain yang ahli
pasien yang mustinya sembuh malah mati

Celakanya rasa bersalah tak ada di hati
yang disalahkan
laboratorium, suster, atau pasien itu sendiri
keluarga korban tak tahu hal ini
keluarganya terbunuh mati
malah mengucapkan terima kasih atas malapraktek ini

Saya jadi teringat almarhumah istri boss yang meninggal 3 tahun silam setelah menjalani operasi pembuluh di jantungnya, kabarnya pada waktu itu tensi beliau sedang tinggi, tetapi dokter tetap melakukan operasi, hanya dalam hitungan jam setelah operasi besoknya meninggal dunia, setelah sebelumnya beberapa hari dirawat. Biaya operasi menghabiskan 150 juta rupiah. Kalau memang kematian sebuah takdir, seharusnya tanpa operasipun almarhumah pasti akan meninggal, tak perlu bersedekah pada dokter dan rumah sakit. Kalau kemudian meninggalkan teka-teki adanya dugaan malapraktek, keluarga menerimanya sebagai sebuah takdir, ironis.

Judul puisi lainnya Sakauw, Merokok, dan juga Viagra tak luput disemainya menjadi kumpulan kata yang menghibur juga memberikan peringatan pada pembacanya.

Merokok
………………………………………
Perokok pembayar setia pajak
seharusnya ia jadi pahlawan
triliunan rupiah disetorkan
tapi perokok jadi hujatan
Bila merokok dilarang istri
bisa bikin suami maki-maki
bila merokok dilarang Negara
pabrik rokok gulung tikar semua
urusan rokok memang dilema
…………………………………………….
Merokok itu
membeli racun
membakar uang
menyantap asap
memperkaya orang
menuai penyakit
membuat ketagihan
bila mau coba silahkan

Dua kurcaciku pastinya tetap saya larang merokok, disamping belum punya uang sendiri, rasanya dalam pikiran saya tetap tidak menyehatkan untuk dompet dan kesehatan tubuh. Saya tetap tidak suka asap rokok, karena rokok bila tidak dihisap tenang saja berbaring di kotaknya, dia indah dipandang, tetapi kalau sudah dipakai dan mengeluarkan kepulan putih itu, maka kontan saya membencinya dan ingin meringkus dan membunuhnya.

Ternyata puisi bisa menari dalam imajinasi pembacanya. Ya, tafsiran isi puisi memang bisa menjadi racun bila penyairnya mampu meracuni pembacanya. Racun kebaikan tentunya yang selalu diharapkan juga peringatan keburukan dari pesan yang ingin disampaikan penyair pada pembacanya. Karena dimata saya penyair juga bisa bertindak seperti rasul layaknya dalam menyampaikan pesan Ilahi lewat rangkaian kata-kata yang disusunnya.

Pembacaan saya sudahi dengan hentakan lagu Goyang Duyu dari Project Pop menggema riang, seriang sajak-sajak Slamet namun meninggalkan bekas yang arif untuk diingat dan dicerna.

Bogor, 21 Desember malam hari ibu, dalam cuaca mendung.

NATAL 1989, ANDUNG-ANDUNG PETUALANG IBU SEORANG PENYAIR

Kali ini kumpulan puisi yang berjudul otobiografi ([sic] November 2007) dari penyair Saut Situmorang yang berisi puisi-puisi yang diramunya dalam kurun waktu 1987-2007, dengan tebal halaman 282 dan total jumlah puisi sebanyak 184 buah, saya jelajahi dalam penerawangan mata hati seorang awam.
Memasuki alam pikiran seorang Saut, bagi yang belum mengenal secara luas bagaimana dia memposisikan diri dalam kancah sastra kontemporer Indonesia, yang selalu berani dan konsisten di jalur perlawanan terhadap hegemoni kelompok tertentu yang selama ini berusaha untuk mendominasi sastra Indonesia, tentunya akan sangat berbeda penilaiannya dengan yang sudah mengenal tulisan-tulisan dan ucapan yang cukup membuat kuping pembaca atau mata lawannnya menadi meradang.
Saut dalam puisi-pusinya justru terkandung nilai-nilai manusiawi pada umumnya seorang bersikap. Kelembutan pada puisi, juga humor bernada getir dan kadang kenakalan dalam romantisme dan pemberontakan pada situasi sekelilingnya lebih dirasakan daripada seorang Saut yang penyerang dan bersuara keras.
Dalam pengantar buku tersebut yang dia tulis sendiri bahwa ciri para penyair di dunia puisi kontemporer Indonesia periode 1990an memilih kesederhanaan bahasa sehari-hari, kesederhanaan bahasa leksikal-gramatikal sehari-hari yang lugas tidak rumit, dengan tidak mengorbankan musikalitas dan visualitas bahasa, untuk mengungkapkan realitas puitis. Bahkan dia tambahkan juga sebuah motif dominan lain pada puisi para penyair 1990an adalah Politik. Hal ini berkaitan dengan dibaginya kumpulan dalam buku tersebut dalam 3 babak yaitu Cinta, Politik dan Rantau.
Dalam penjelajahan pertama yaitu CINTA dari 3 babak imajinasi seorang Saut, dengan diiringi petikan gitar Bahalawan menari, sajak dengan judul “tidurlah cicak”, “sajak cicak”, “boraspati”, “tenunlah bendera o laba laba” dan “cicak mabuk”, sudah membuat diriku seperti melihat seseorang membuat pot keramik. Dimulai dari sebongkah tanah liat yang kemudian ditaruhnya dalam lempengan kayu pada mesin pemutar membentuk pot keramik sesuai yang diinginkan. Berputarnya mesin dan bongkahan tanah liat yang semakin besar membentuk pot ini yang tergambar dalam imajinasi saya membaca puisi-puisi tersebut.
Betapa makna yang tersirat dari kata “cicak” akan terasa semakin dalam seperti kumparan yang berputar semakin cepat dan berakhir dengan klimaks setelah selesai membaca keempat syair tersebut.
Saya kutipkan pada sajak pertama di akhir bait tertulis

cicak cicak di dinding dinding
tidurlah
tidur

kemudian pada syair ke dua,

hormatilah cicak cicak di dinding rumahmu

yang ke tiga ,

kata kata terbakar lilinlah makananMu!

Yang ke empat ,

lalu berpawailah di sekeliling langit langit kamar!

Terakhir ,

cicak mabuk di dinding
bayangannya menari sempoyongan di lilin kamar
mengikuti gitar Lightning Hopkins
dan hei, bukankah itu Li Po yang baru datang!

Penggambaran seperti kehidupan ini, mengikuti siklus yang dipelajari dalam mata rantai makanan pelajaran biologi, yang kemudian dihubungkan dengan watak manusia lewat pengertian bahwa di atas langit masih ada langit begitu seterusnya, kegetiran dan kegembiraan datang silih berganti walau tidak seperti yang diharapkan bahkan kadang memabukkan sejenak, menjadi orang lain dalam diri sendiri.
Kelembutan penyair ini kutemukan dalam beberapa puisi bahkan kadang tergores muram dan getir. Pada puisi yang dia buat setelah kawannya dari Kanada meninggal dunia dengan bunuh diri menggantung di kamar mandi di Medan. Syair itu berjudul “untuk Bill Russon, Medan, Oktober 1988”. Suara Daniel Powter menyanyikan Bad Day lamat-lamat menemani saya menyelaminya,

kematian
seperti ular juga mengganti kulitnya
dia jadi malam di kotamu yang gelap
dengan rakus dia makan bulan & bintang bintang yang
menyerah tak berdaya
dia makan juga lampu lampu neon di hotel hotel
jalan-jalan utama kota & lilin lilin redup gubuk gubuk perbatasan
dia jadi burung malam yang menjerit jerit di langit di atas
rumahmu
jadi derak pintu & jendela yang tak terkunci rapat

Kelembutan dan kegetiran juga tergores dalam puisinya yang berjudul ”Natal 1989”. Saya katakan sejujurnya puisi ini sangat kuat menggambarkan kerinduhan seorang anak terhadap ibunya yang sudah lama meninggal, hati penyair ini akan sama dirasakan oleh jutaan anak-anak di dunia terhadap kehilangan ibu pusatnya gudang rasa kasih dan maaf yang tak tergantikan, walau kita ini sekeras batu hati ini terbuat, namun IBU tetap bisa meluluh lantakkan rasa itu. Itulah alasan saya mengapa kemudian judul puisi ini saya ambil menjadi judul esai dalam memandang kumpulan puisi Saut Situmorang ini. Kali ini Michael Buble menemani dengan Home-nya, suara jengkrik di pot bunga terdengar nyaring.

Natal 1989

hari ini
genap lima tahun
aku tak merayakan natal bersamamu

di sudut ruang tamu
yang biasanya berdiri pohon natal
sekarang cuma ada sarang laba laba
dan debu –
pohon natal itu juga pergi bersamamu

di gereja ada pohon natal besar
orang orang gembira dan lilin di tangan mereka terbakar
hari ini mereka merayakan pesta –
bagiku genap lima tahun kita berpisah

seorang ibu melemparkan kembang api ke langit
dan anaknya bersorak sorak mandi hujan cahaya
aku bersihkan sarang laba laba dan debu
dari sudut ruang tamu tempatmu dibaringkan lima tahun yang lalu

Membaca bait terakhir kepedihan itu terasa tergores dalam, saya membayangkan adakah setetes air mata di sudut mata penyair ini ketika menyudahinya? Adakah dia masih merindukan “mamak” pada setiap natal yang setia hadir? Saya rasa pasti itu, apalagi bila sejenak dalam diri ini merasakan tak punya siapa siapa, sendiri dalam hidup ini, lainnya dianggap debu. Sayup-sayup suara lonceng gereja menggema, dalam lamunan seperti ada gemerincing jejak Sinterklas menapaki awan .
Disamping itu masih ada tiga puisinya yang menggambarkan akan jalinan antara dia dan almarhum ibunya, dalam puisi yang berjudul “andung andung petualang”, saya kutip sebagian, karena puisi ini cukup panjang dalam 19 bait,

“kalau kau pergi , anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

matahari panas
angin berhembus panas
bus tua meninggalkan kota
aspal jalanan melarikannya selamanya

“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

kota berganti kampung
sawah berganti gunung
anak lelaki dekat jendela
lagu petualang jadi hidup di darahnya

“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

kampung menjelma kota
gunung gunung kembali rumah rumah
begitulah berhari bermalam
makin jauh anak dalam perjalanan tenggelam

“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

menyeberang laut menyeberang pulau
beribu gunung kota terlampaui
di negeri seberang di negeri baru
anak melangkah masuk hidup perantau

…………………………………………………………………

Keseluruhan 19 bait itu terangkai begitu indahnya, menceritakan awal dia berangkat merantau dengan dihantar hati ibu yang galau, gambaran yang terasa pilu memendam rindu dendam pada keadaan yang memisahkan penyair dan ibunya sampai kematian kemudian tiba.
Ada catatan kaki di bawah sajak ini, memberikan sekilas gambaran tentang ”andung-andung” yang merupakan nyanyian ratapan kematian di kalangan orang Batak Toba, isinya berupa kisah hidup yang meninggal dan dinyanyikan dalam bentuk performance tunggal di hadapan jasadnya. Ternyata penyair Batak ini tetap tidak meninggalkan aroma tradisinya dalam penciptaan syair-syairnya. Bagi saya ini suatu kelangkaan, banyak penyair kontemporer Indonesia masa kini, kadang terlarut dalam hiruk pikuk kata, jarang mengangkat tema tradisi mereka sendiri dalam memperkaya khasanah penciptaan puisinya, sehingga akan melestarikan tradisi itu sendiri, namun juga akan menambah wawasan pembacanya akan berbagai ragam tradisi yang melatar-belakangi kehidupan penyair itu sendiri. Imajinasi luas tak terbatas, begitu juga ada sejuta kata yang tak sama dapat diambil dari sekeliling kita sehari hari, seharusnya tak ada kata-kata yang itu itu saja muncul di syair-syair penyair sekarang ini juga temanya, karena tradisi memperkaya tema dan kata.
Pada puisi yang berjudul “ibu seorang penyair”, menggambarkan awal ibu melahirkan sampai kemudian meninggal dunia ditorehkan dengan kesederhanaaan kata, namun tutur bahasa pengulangan yang begitu pilu, menambah goresan kelembutan hati penyair ini terpampang jelas.

ibu yang menangis
menunggu kelahirannya

ibu yang menangis
kesakitan melahirkannya

……………………………………..

ibu yang menangis itu
tak menangis lagi
airmatanya sudah habis

sekarang Dia tidur
di antara rumputan di antara bintang bintang
di langit

Kemudian klimaksnya adalah puisi yang berjudul “hanya airmata dan terik matahari yang mengerti”

rumput rumput sudah mulai panjang
dan seperti rambut kusut
merambati permukaan gundukan tanah
yang tak lagi berwarna merah
waktu aku datang mengunjungimu

pertemuan kita ini
punya arti
hanya airmata dan terik matahari
yang mengerti
…………………………………………………………
ada yang bilang tak boleh noleh ke belakang’kalau kaki sudah beranjak mau pulang
tapi dari jauh
kulihat salib kayumu
tegak penuh
seperti dirimu waktu melepasku
di pelabuhan dulu

Dalam sisi yang lain kematian binatang peliaraannya berupa kucing, mampu juga membuat penyair ini menggoreskan kata-kata mengenangnya dalam rangkaian yang indah dan menyentuh. Dalam smsnya pada saya beberapa waktu lalu, dia ceritakan bahwa kucing itu dibawa dari Medan kemudian sempat ke Eropa mengalami masa karantina 3 bulan sampai kemudian selamat di Selandia Baru. Eh, sampai di sana mati dipukul orang. Saya sempat mengira ini seekor anjing, maklum di otakku tercemar Batak kan suka anjing, tak tahu kalau ini kucing.
Lentingan suara Mariah Carey mendendangkan We belong together berbarengan dengan suara kucing tetangga mengeong sejenak, seakan kucing itu menerima tanda saya sedang membaca sajak tentang kematian kucing.

elegi claudie

di atas tanah
lembab
terlindung
beberapa rumput berduri

dia terbaring

bulu badannya
yang putih
dan pirang

tegak memanjang
dari leher

ke ujung punggungnya

kedua kaki depannya
agak terdorong ke muka
dan kaki belakangnya
keduanya tertekuk

seolah dia sedang mengamati sesuatu

kedua matanya
terbuka
terbelahak
dan mulutnya menganga

waktu kuangkat
ke pangkuanku
badannya
sudah dingin

sorenya
dokter bilang
nadi ke hatinya

pecah-

seseorang pasti memukulnya

besoknya aku
kubur dia
di atas bukit (di belakang rumah)

yang memandang ke lembah

wellington, juni 1990

Tipologi penulisan yang terpotong potong ke bawah menggambarkan betapa hati penyair ini membuat susunan kata-kata dengan terbata-bata seperti seorang anak kecil yang menangis dalam sedu sedannya bercerita ketika menjumpai hewan peliharaan mati dengan sangat mengenaskan, hancur hati, dia membuat begitu jelas intonasi kata pada baris tersendiri untuk “dia terbaring”, kemudian “seolah dia sedang mengamati sesuatu” dan terakhir penyebab kematian “pecah”. Penyair ini telah memberikan “tanda” intonasi kata apabila ada pembaca yang akan membacakan puisinya, sehingga puisi ini akan semakin hidup. Kadang pembaca sering menemukan kesulitan dalam membacakan puisi penyair. Apabila tidak terbiasa baca puisi, apalagi bagi seorang awam. Namun dalam puisi di atas ini, Saut juga memberikan semacam kemudahan dalam membaca karyanya terutama bagi orang awam untuk suatu ketika dibaca di depan publik.
Dalam babak Cinta ini, saya justru menemukan penggambaran romantisme masa pacaran penyair ini yang dibuat dalam bentuk puisi kurang begitu dalam dan kesannya kering di permukaan dan saya rasakan agak kasar, entahlah apa karena ada penggambaran hubungan yang terlalu gamblang dalam kata-kata atau mungkin saya sendiri sudah terhanyut berkubang sebelumnya dengan sajak-sajak dia dalam hubungan dengan kemanusiaan juga tentang kehidupan yang justru digambarkan dengan kelembutan hati penyair yang selalu ada dalam gambaran saya selama ini.

Ada banyak sajak yang dalam, sebagai contoh ”karena laut sungai lupa jalan pulang”, soal Gempa Yogja, “Santiago”, “penyair dan danau”, ”marilah kita mabuk”, “bocah pemancing ikan” dan sajak dia yang terkenal “saut kecil bicara dengan tuhan”.
Bahkan dalam kejadian gempa Yogja, dia masih sempat bermain nakal dalam imajinasi dengan puisi yang berjudul “aku ingin” kukutip sebagian , dengan lirih suara dentingan piano Christian Bautista dalam the way you look at me mengalun sendu ,

aku ingin bercinta denganmu
waktu gempa lewat

di kota kita

saat itu
pasti tak ada
keluh cemas , sinar mata ketakutan
atau gemetar kakimu
yang membuatku termangu
…………………………………………..

Ada beberapa puisinya yang menceritakan gempa ini, dan semuanya dia buat dengan pendalaman makna walau tersusun dari kata-kata yang sederhana. Bagi orang awam yang membacanya dapat ikut serta merasakan goncangan gempa itu dan sayatan pilu bagi korbannya. Bahkan saya sempat terjatuh dari kursi ternyata mor-bautnya copot.
Dalam imajinasi kemudian dituangkan melalui bait bait puisinya, saya menemukan beberapa puisi dengan gaya bagaikan kumparan membentuk sebuah gelas kaca, berputar-putar menggelembung. Beberapa puisinya seperti ini dalam gambaran saya ketika membacanya: ”insomania”,”sajak mabuk”, ”sajak musim salju”.
Saya kutipkan sajak “insomania”

hampir.tengah.malam.jalan.
jalan.kota.sudah.sepi.mobil
kadang.lewat.lewat.mengiris.dingin.malam.
di.kamar.sendiri.aku.mendengar.
……………………………………………

Perhatikan penulisan setiap kata yang diakhiri tanda titik, menggambarkan bagaimana kesulitan kita untuk tidur. Bagi penderita insomania akut, penggambaran kesulitan memejamkan mata terasa dalam kata-kata yang dia tulis dengan akhiran titik. Saya melihat seperti kelopak mata ini sejenak terpejam, sejenak lagi terbuka terus menerus seperti itulah kiranya tafsir saya terhadap apa yang ditulis penyair ini dengan setiap kata langsung diakhiri titik. Padahal kalau dibaca dengan membuang tanda baca “titik” tadi akan tersususn baris-baris kata puisi biasa pada umumnya, namun di sini penyair tidak hanya menyampaikan isi puisi itu namun dia juga menggambarkan penyampaian itu seperti pembaca ini mengalami juga penyakit “insomania” dengan kejelasan titik-titik dalam setiap kata yang tersusun itu. Luar biasa!
Di sini kemudian saya menemukan sisi lain dari Saut penyair garis keras ini (sebagian teman sastrawan menilai dia begitu), rocker garis cadas atau metal kali ya kalau pada aliran musik. Namun saya tak setuju seratus persen terhadap penilaian ini. Justru dalam syair syairnya itu banyak saya temui kelembutan seorang penyair yang sebenarnya, juga rasa tanggung jawab dia terhadap pembelajaran bagi pembacanya bagaimana dia menuntun pembaca untuk dapat menangkap apa yang ingin dia sampaikan, apa yang ingin dia ceritakan dengan segudang petualangannya selama ini mencari kehidupan dan membentuk kehidupan dia selanjutnya. Kata baginya tidak hanya sekedar rangkaian memilah milah, menggabung gabung, tapi bagaimana kata disusun dalam kontek tradisi juga pembacaan yang diatur dengan memberikan semacam tanda bagi pembaca yang mendalami puisi puisinya. Hal ini sangat jarang saya temui pada puisi-puisi penyair lain.
Saut yang gegap gempita dalam konsistensi pendapat dan pemikiran juga tercermin dalam babak ke dua yang berjudul POLITIK.
Sajak sajaknya pada babak ini luar biasa, penuh tenaga dan dorongan, kuat dalam penyampai ide dan kesederhanaan kata itu berhasil membuat beberapa teman kecil saya di SMA bisa memahami mengapa seorang penyair juga harus peka terhadap kejadian yang ada di lingkungan sekitarnya, tidak hanya situasi kemanusiaan, namun juga merembet pada keadaaan Negara, perjuangan kantong-kantong perlawanan yang ada di masyarakat pada umumnya.
”Sajak mimpi untuk Widji Thukul”, ”marsinah”, ”dari berita di sebuah majalah”. Puisi terakhir ini sempat membuat mata hati saya meradang merah dan menggigil
Saya kutipkan sebagian dengan ditemani lolongan Celien Dion dalam the power of love,

bocah perempuan itu pecah jantungnya
waktu dituduh mencuri perhiasan tetangga
airmatanya cuma minyak
memarakkan api di dada sang angkara murka

lalu seorang polisi membawa bocak kecil itu
ke kantornya. lalu polisi itu menendang
badan kecilnya ke dalam sel yang terlalu
besar buat rasa takut di matanya
dia tak pernah mencuri perhiasan siapa
siapa jawabnya waktu sebuah kepalan
tangan raksasa menghancurkan semua
keriangan kanak kanaknya
selamanya
lalu perempuan kecil itu direndam
bagai selembar sarung kotor di bak mandi
kantor polisi
lalu perempuan kecil itu dinikmati
jerit kesakitannya oleh dua polisi
yang duduk merokok di kursi yang memaku kuku kakinya
ke semen lantai!

Puisi ini cukup panjang, dan membuat saya tak mampu membaca habis, karena tanpa sadar airmata mengaburkan kata-kata itu dan lamat-lamat seperti terdengar suara penyiar dalam acara buser atau jejak pembunuh entah apalagi di televisi dalam acara yang biasanya mengulas pembunuhan yang sudah dikemas menjadi barang tontonan menarik dan acara ini telah menjadi semacam ”guide” bagi lahirnya pembunuh pembunuh selanjutnya di masyarakat. Ya, acara televisi yang paling saya benci dan kurcaci saya larang untuk menontonnya, takut dia akan menjadi pembunuh dalam dunia lain.
Kebobrokan moral, ketidak adilan dan tingkah laku masyarakat di sekeliling ini, memang tak luput dari goresan imajinasinya yang pilu dan dalam. ”sajak orang orang buangan”, ”surat bawah tanah”, ”catatan subversif tahun 1998”, juga puisinya tentang kejadian Mei 1998, ”aku adalah mayat” dan masih banyak lagi, yang begitu kuat menggambarkan situasi peristiwa yang berhubungan dengannya.
Ada satu puisi dalam babak ini yang begitu menyentuh judulnya “inilah aku”

inilah wajahku
yang kau siarkan di media massamu
tak perlu lagi kau memburuku

inilah tanganku
yang kau tuduh menulis hasutan hasutan itu
tak perlu lagi kau memburuku

inilah kakiku
yang kau katakan lari dari tanggungjawabku
tak perlu lagi kau memburuku

dan inilah dadaku
yang kau fitnah penuh benci pada negeriku sendiri
tembaklah dengan senapanmu

kalau kau berani melawan nuranimu!

Pada babak terakhir buku kumpulan ini RANTAU lebih banyak memuat puisi puisinya dalam bahasa Inggris, yang memperjelas kalau penyair ini merantaunya di negeri sono. Ada beberapa yang merupakan terjemahan puisi dia dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris seperti “1966”, “totem”, “subversive notes 1998”, “a letter from the underground”, “imagine we were in Dili”. Judul yang terakhir ini, sebelumnya dalam bahasa Indonesia terdapat dalam babak POLITIK ini cukup menggelikan setelah membacanya. Saya kutipkan dengan keriangan Michael Learns dalam the actor dari jauh mengalun lembut,

seandainya kita di Dili imagine we were in Dili

“jangan tembak, pak! “don’t shoot, sir!
jangan tembak! please don’t shoot I’m an Indonesian!
saya ini orang Indonesia! look! here’s my ID card.
lihat KTP saya KTP Jakarta!!!” it was issued in Jakarta!!!”

“wah, tenane, lho sialan! “It’s true, shit!
ya sudah. Hayo sembunyi! okay, go and hide in sana di Koramil. ourheadquarters. Hurry up!
kok wong Indonesia ada di jalan, what the hell is an Indonesian doing out in the street,
pengen mati, ya! diancuk!!!” do you want to get shot dead, eh? hurry up! bastard!”

15 september 1999

Saya baru tahu kalau pisuh pisuhan bahasa Suroboyoan itu dalam bahasa Inggris jadi “bastard”, tapi kayaknya lebih enak dalam bahasa aslinya deh! terasa nendang diintonasinya. Dan saya bisa lebih leluasa misuhi wong bule dengan aslinya, kalau diterjemahkan kurang makyus. Dan Saut dalam puisi tersebut berupaya melucu namun getir. Bahasa sulitnya parody satire, dalam perang yang kejam selalu ada kelucuan terselip.
Buku tebal bergambar narsis habis penyairnya ini diambil kala dia masih imut dan menggemaskan, apakah sudah gede begini masih menggemaskan? Tentunya hanya untuk seorang Katrin Bandel hal ini masih menggemaskan dan bagi lawannya yang suka dikritik, Saut pun masih menggemaskan (barangkali?), rasanya tak habis habis untuk digali dan diselami. Bagi saya yang belum bertatap muka dengannya, walau sudah sering kontak by sms dan membaca beberapa esainya yang ditulis cukup serius, setidaknya cukup memberikan gambaran seorang Saut Situmorang yang sebenarnya mempunyai sisi bertolak belakang dengan gaya lantang bicaranya apalagi bila dia menemukan ketidak adilan dalam perjalanan sastra Indonesia saat ini.
Di akhir buku ini ditutup dengan tiga puisinya yang berjudul “Blues for Allah 1” , “Blues for Allah 2”, dan “Blues for Allah 3”, puisi puisi ini sangat pendek, orang bilang walau dia pendek tapi padat berisi dan telak. Bahkan untuk puisi “Blues for Allah 3” tidak ada isinya, kosong melompong, dibiarkan pembacanya untuk bebas mau menulis apa.
Iringan lembut Whitney Houston dalam I will always love you mengantarku menyelami dua puisi terakhir ini.

Blues for Allah 1

the sky’s so blue the kids’re playing
then the sea rose and ate up everything –
tsunami

Blues for Allah 2

the lonely moon and
the silent night are what the
tsunami left behind

Blues for Allah 3



Penilaian saya akan puisi-puisi Saut yang mudah untuk dicerna pembaca awam ini, tidak terikat dengan metafora yang jelimet, namun centang perentang dalam penyampaian gagasan juga penilaian dan perlawanan terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya, membuat saya pribadi tak lelah menikmati puisi-puisinya. Walau ada beberapa puisi panjang dalam bait dan barisan kalimat, tetapi tidak memanjang satu kalimat oleh puluhan kata ini, sehingga bagi saya yang penggemar berat puisi yang tidak bertele-tele, terasa nyaman di mata dan di hati.
Puisi-puisinya mewakili karakter dia sebenarnya, di satu sisi lembut, lucu dan romantis kering, di sisi lain garang perlawanan dan lantang tergores. Jadi ingat cerita Vendetta dengan lambang “V”nya yang terkenal itu.

Bogor, Sore hujan gerimis,minggu malam hari raya qurban, 7 desember 2008. 17.07 wib