Monday, April 21, 2008

harga sebuah harapan

sepertinya berjalan tanpa beban
berharap tak ada aral melintang
sepertinya tertawa tak ada tegukan
berharap semua menjadia riang

ah, siapa menduga
pos terakhir harus sudah ada
disediakan ataupun tidak
semuanya tetap bergerak

masa lalu tinggal goresan
pena patah atau dipatahkan
tak perlu lagi caci maki dilontarkan
segera tinggalkan landasan

ilenk 7.45, pagi sebelum bekerj

pagi menyapa tuk vie

masih ada sisa asap di jalanan
masih ada kerikil terlontar di sela roda otor
masih ada harapan di asa yang semakin tipis
masih kah ada ?

lewat siang dan separuh sore
tak ada lagi dentingan suara
hanya sepi dan kemudian senyap

cuma menanti tanda "suit..suit..suit..."
sms menyala, namun tetap tak ada

ilenk, 7.40 wib, pagi di kantor

Ibu, tak luruh do'a selalu untukmu

hangat harum tubuh pagi berselimut halimun
dengan acak rambut dan riak baju tak beraturan
berjalan tertatih di ujung subuh
nyala lilin dan rangas arang hitam memeluk tubuh

suara gorengan dan asap nasi
sesekali batuk menimpali di ujung adzan pilu
dan bunyi gemerisik air luruh jatuh
terakhir gumanan do'a pagi disitir

kepada perempuan pagi, yang selalu kukenang, almarhum Ibu
22/04/2008
ilenk

Monday, April 14, 2008

ulasan puisi M. Aan Mansyur

DI TELUK PUNTONDO, SUATU SENJA , AKU HENDAK PINDAH RUMAH
Oleh : ilenk_rembulan

Sekilas menggenggam kumpulan puisi yang dipeluk dalam buku berjudul Aku Hendak Pindah Rumah dari M. Aan Mansyur selanjutnya disingkat MAM ini terasa berat diisi. Bukan apa-apa, aku sejak kecil sering membaca puisi pendek yang keindahannya sudah tidak diragukan lagi, walau kadang kutemui sedikit agak panjang namun tidak dengan jumlah bait, tapi jumlah kata dalam satu baris.

Pada kumpulan puisi ini ada sarat banyak puisi-puisi MAM yang banyak baris banyak kata, sehingga aku merasa kedodoran untuk menangkap roh dari puisi itu sendiri. Terus terang tanpa aku bisa menangkap jiwa dari kata-kata yang sudah dirangkai dengan susah panyah oleh penyair maka tidak akan bisa dengan tenang dan nyaman menikmatinya.

Aku mencoba untuk mulai menyukai puisi MAM dan mendalami maknanya karena tanpa itu rasanya tidak fair bagi jiwa ini hanya membaca puisi-puisi pendek tanpa membandingkan dengan puisi panjang, dengan keterpaksaan yang dalam dan iklas mau tidak mau aku menyelami dan mulai masuk di alam pikiran MAM dalam balutan puisinya yang cukup melelahkan bagi mataku.

Buku berbalut 182 halaman ini mulai kubuka perlahan dengan iringan Way to Mandalay nya Ritchie Blackmore , seperti kata bang HAH dalam pengantar di buku tersebut , bahwa keindahan puisi selalu ada dan terus ada, maka mengabaikan yang lain, bermodal keindahan ini ku mulai menikmati puisi MAM.

Menyitir sekapur sirih dari pengarang di halaman akhir, bahwa kumpulan sajak ini terdiri dari 4 bab yang awalan setiap bab dimulai dengan “Rumah “ dan berisi 99 sajak.

Rumah 1 : Pintu lama, Pintu Kenangan terdiri dari 24 puisi

Suara penyanyi cewek menyanyikan 3 black crows nya Ritchie Blackmore diiringi kecringan sayup-sayup , menemani semakin dalam menjelajahi 24 puisi MAM dalam rumah 1 ini.

Aku mulai menangkap keindahan pada puisi pendek (Ah! lagi lagi pendek) tetapi banyak baris dengan judul “Hujan Pagi”. Pada bait ke lima yang ku kutipkan disini :
………………………………….
Aku hirup kopi sebelum berlalu dingin
Kau tahu, kopi itu kuseduh
Sambil tersedu-sedu
Sebab alangkah sendu
Bunyi sendok dan gelas beradu
………………………….

Entahlah, karena ada bunyi disini dan yang pasti puisi ini pendek sehingga rohnya dengan mudah dapat kutangkap, maka aku menikmatinya dengan geleng-geleng kepala seirama petikan Joe Satriani dalam The crush of love.

Akhirnya aku jatuh cinta juga dan terperangkap pada puisi yang berjudul Sepasang Pohon Gerbang, puisi panjang MAM ini terdiri dari 7 bait masing-masing bait terdiri dari 4 baris, dan yang membuatku terpesona adalah diakhir setiap kalimat ada bunyi “ng”, Wow, dahsyat, mataku tak lelah menjelajahi dan berusaha masuk di sajak ini. Aku jadi terbayang pohon beringin di bekas rumah ex Wedana di jl. Getengkali Surabaya yang sekarang menjadi tempat berkesenian dengan nama “Cak Durasim” itu. Entahlah apakah pohon beringin saksi sejarah itu masih tegak berdiri sekarang ?, karena dulu waktu mbakyu rajin menjadi anggota teater disana sering berlatih di bawah pohon itu.

Kemudian aku tenggelam lagi pada beberapa puisi MAM yang panjang melelahkan mataku, karena rohnya tak dapat kutangkap, namun aku terjegal di sajak yang berjudul “Pada sebuah tengah malam”

MAM, terus terang sebenarnya rohmu di puisi pendek amat kuat dibandingkan di puisi panjangmu yang seperti cerita mini (cermin). Aku kutip disini :

Udara begitu kelam,
Diam bagai air kolam.

Engkau mengendap-endap ke dalam kenangku,
Pelan letakkan satu ciuman di keningku.

Lalu seluruh waktu silam
Tiba-tiba ingin kembali aku sulam.

Wahai di mana gerangan kini engkau tertambat,
Jika sekarang aku pulang apakah aku terlambat?

Mantap MAM, kuat roh itu membelengguku, petikan Joe masih mengiringi dengan hentakkan Flying in a blue dream,

Terperangkap lagi pada puisi cermin MAM yang berjudul “Aku dan sepasang mata”, ini karena di setiap akhir baris ada bunyi “ap”, dengan bentuk bebas di setiap bait dan barisnya, namun keutuhan tetap terjaga. Kukutip sebagian :
……………………………………………………
Dan kelopaknya yang diam tak mengerjap,
Tak pernah mau menyingkap
Tetanda yang seharusnya terungkap
Kata-kata yang seharusnya terucap
Lalu isyarat apa yang mesti kutangkap?
………………………………………
Sebab aku tak lagi genap, tak lagi lengkap

Satu baris akhir yang menyudahi sajak ini, hem, sarat makna dalam. MAM akupun kadang juga merasa tak genap lagi, apalai lengkap, seiring waktu yang terus berputar.

Dan masih ada satu lagi sajak yang berjudul “Puluhan tahun kemudian”, akupun menyukainya karena rohnya begitu gampang kutangkap ada bunyi disini dan kurasakan indah, memang menapak hari-hari menjelang usia tua adalah kenangan yang tak terlupakan, penuh keindahan.

Selebihnya sajak-sajak lainnya terlalu penat kutangkap rohnya, walau aku tahu bagi penyair lain akan dibilang indah, tapi MAM kau harus sadari bahwa tidak semua orang termasuk aku bisa dengan nikmat melahap puisimu yang sebagian seperti cermin itu, tapi setidaknya di rumah pertamamu ini, aku sudah bisa melahap dengan lega, dan akan kulanjutkan masuk di rumah-rumahmu berikutnya, agar aku bisa dengan lahap menikmati sajianmu ini.

Rumah 2: Pintu hati, pintu persembunyian

Clouds race across the sky masih tetap si Joe ganteng, dengan matap mengalun terus menemaniku, diiringi petir menggelegar di langit bogor pada sabtu siang, dengan hujan rintik, kususupi lagi roh MAM di puisi-puisinya pada rumah ke 2 ini dengan jumlah sajak ada 32 buah.

Kesandung awal pada sajak “Mata Ibu”, seperti sajak Dino tempo hari, entahlah, setiap penyair membuat syair yang ditujukan untuk ibu, aku selalu menyukainya seperti apapun bentuk puisi itu. Ibu bagiku dan mungkin juga banyak penikmat lainnya akan selalu menjadi ladang penciptaan kreasi dalam merangkai kata-kata untuk disajikan menjadi sajak yang utuh. Di bait akhir dari sajak ini kukutip :
………………………………………………….
Tetapi engkau sungguh tak tahu mengeluh
Mulutmu corong seluruh doa paling minta
Agar tuhan tak mengeringkan kali
Sebelum ternak dan anak-anak
Menemukan hujan

Doa ibu untuk siapapun orang dekat yang dicintainya, selalu akan terus meluncur dari batinnya, menyirami, mendorong langkah kita menapaki kehidupan yang semakin jauh ke depan. MAM berkat doa ibu juga kau sudah berjalan hingga kini.

Disamping itu akupun terpana dengan sajaknya yang berjudul “Gambar mirip Ibu”, karena ternyata memang Ibu berperan penting bagi jejak langkah kehidupan ini.

Kali ini puisi pendek MAM yang berjudul “di Rahim Tanah” membuatku terpana sebentar, kukutip berikut ini :

Di MANA rumputan menemukan bunga?
Di rahim tanah, di rahim tanah yang gembur

Dimana sumur mendapatkan mata air?
Di mana alir sungai-sungai akan berhilir?
Di rahim tanah, di rahim tanah yang subur
Di mana akan kau tanam air matamu?
Di rahim tanah, di tempat ibu terkubur

Kemudian berlanjut di sajak “Doa” terdiri 3 bait dalam barisan berjumlah 8 dan singkat kata tapi sarat makna.

Ingatkan agar aku sadar
Usiaku akan pelan-pelan
Berubah jadi bumi

Ingatkan aku seluruh tangan
Yang pernah menanam bebijian
Di ladang-tubuhku

Sebab aku ingin melihat mereka
Merayakan pesta di musim panen

Di perjalanan merasuki rohmu dalam menyajikan puisi , aku tertambat pada sajak yang berjudul “Meriang”, kuselami sejenak dengan menghela nafas satu bait dari 3 bait yang tersaji ,

SETIAP malam
Pintu tak kututup
Jendela tak kukatup
Kuundang angin yang ingin
Merasuk jadi meriang di tubuhku
Dan merusak suaraku

MAM, terus terang suaraku pada saat membuat esai ini juga sedang rusak kena flue, apa mungkin ini jadi rohmu dengan mudah kutangkap ketika mengukir meriang ini?

I love you dari Saigon kick mendendang renyah menemaniku menikmati sajak lain yang lagi-lagi pendek saja berjudul “Sungai Susu”.

DI PANGKAL tidurnya mereka dengar bisikan
Halus bagai biji-biji hujan yang berkecambah
Siap tumbuh memanjat udara ke awan-awan
Setelah di guyur panas matahari tidak terbelah

“Nak, mari ikut Ibu berenang ke muara,
Sungai susu sudah mulai mengaliri dada”

Kuntum-kuntum mata mereka dikatupkan
Dan menikmati tubuhnya hanyut perlahan

MAM, aku berdesir membaca puisimu “Sahabat-sahabat Ibu”, lagu Love hurts by Nazareth menghentak lamunanku , baru dua rumahmu aku jelajahi tapi sebenarnya kau ini siapa baru aku temukan di puisimu ini. Sulaman kehidupan pribadimu tersamar jelas di puisi ini, tanpa sadar mataku meradang basah.

SEJAK kaki ayah tak lagi mengenal bilah-bilah
Lantai rumah kayu yang pernah dibangunnya
………………………………………………….

Pada bait 2 : pisau
KADANG-KADANG ia benci ranum buah-buahan
Apel dan tomat yang merah,
Semangka dan mangga berkulit kencang,
Atau mentimun yang segar dan putih

Masa-masa remajanya tak bisa kembali
Seperti juga alamat ayah yang sia-sia dicari

Pada bait 3 : gunting
BUNGA-BUNGA dan rumput di halaman
Suka berubah jadi uban di kepalanya
Ia tak ingin ada hutan menyeramkan
Tumbuh di sana. Sebab bagaimanapun
Ia tak pernah lelah menunggu anaknya
Datang mencium keningnya atau
Mungkin ayah dengan oleh-oleh
Sebuah cerita tentang petualangan

MAM, ibumu kuat seperti almarhum ibuku juga, aku tiba-tiba rindu padanya. Salam ta’jimku pada beliau. Bahagialah kau masih ditemani olehnya, tidak seperti aku menapak separuh kehidupan tanpa ibuku lagi.

Rumah 3: Pintu baru, pintu kegaduhan, terdiri dari 20 sajak

Terus terang aku tertatih-tatih memasuki rumah ke tiga ini. Sarat puisi bak cermin, dan berat kutangkap maknanya. Apa mungkin terlalu panjang sehingga awalnya roh itu sudah ada, keindahanyapun sudah terpampang, tapi kemudian cepat hilang, ketika aku sudahi dengan penuh kelelahan panjang mengakhiri setiap sajak-sajak MAM di rumah ini.
Namun aku tak putus asa berusaha mencari bilik yang tidak membuatku lelah dan sesak, sampai pada judul “Aku hendak pindah rumah” judul yang sama yang dipakai untuk membungkus kumpulan buku kedua ini, baru aku bisa bernafas lega. Puisi panjang ini, dapat dengan mudah kutangkap aromanya, dan aku menikmatinya dengan lahap dan ringan diiringi I’m too deep dari Genesis. Dua baris kalimat akhir dari kutipan puisi tersebut :
……………………………………
Aku hanya menginginkan sebuah rumah yang penuh
Dengan kalimat gaduh atau kalimat rusuh. Sungguh !

Wah, opo yo tenan MAM?, kamu inginkan demikian? Bukankah sekarang banyak orang mendambakan rumah yang tenang dan damai bak di dalam tanah kuburan? Bahkan di apsas inipun ada sebagian orang menginginkan juga seperti itu ketika sebagian ada kegaduhan dan rusuh?

Rumah 4: Pintu Waktu, Pintu Perjalanan, terdiri dari 23 sajak

Akhirnya perjalanan menjelajahi lorong waktu rumah di dalam kumpulan puisi MAM ini menginjak pada bab akhir. Rumah yang berisi puisi yang paling aku suka, berisi pendek-pendek seperti sebuah coretan perjalanan, namun kaya makna dan pendalaman arti dalam rangkaian kata.

Akupun berkali-kali katakan, rohmu itu ada pada sajak-sajak pendekmu MAM, ini adalah kataku, pasti akan ditebas oleh mereka pengangum puisi cerminmu. Aku sadari ada beberapa yang aku bisa mencernanya dalam membaca puisi cerminmu itu, namun aku lebih suka dan melahap sampai tuntas sajak sajak ringkasmu.

Dari beberapa catatan harianmu di awal-awal halaman rumah 4 ini, aku suka puisi yang kau tulis –Bone 14/01/1999
SEBERAPA jauh kuda waktu
Mampu membawaku di pelana?
Oi, anak sulung tanpa ayah,
Beradik dua, ibumu sudah tua,
Cepat sekali kau tujuhbelas!
Mengapa anak-anak itu
Tak mau meninggalkan mainannya
Dari pekarangan di dadamu?

Lagi-lagi – Bone 14/01/2003
AKU hanya menginginkan
Ulang tahunku yang ketujuh

Pesta kecil tak perlu kenangan
Tentang hujan dan perempuan
Yang nafasnya pernah membantu
nafasku memadamkan nyala lilin

Aku hanya menginginkan
Hadiah mainan dan buku kosong
Banyak perihal perih mau aku gambar

Catatan harian pada saat kau ulang tahun, dan aku suka catatanmu yang di tulis di Bone, karena Bone tanah kelahiran, juga Bone mengingatkan aku akan seseorang, pada Lelaki masa laluku.

Hampir semua puisi yang ada di rumah ke 4 ini, aku suka. Apa memang sengaja MAM memasangnya di akhir, supaya kelelahan panjang melahap di rumah-rumah terdahulu, jadi ringan di bab akhir.

Salah satu yang aku suka “Baju Penglaris”, tersenyum aku dibuatnya, sajak cibiran nan getir, ada permainan nakal di akhir puisinya. Kukutip sebagian :
……………………………………….
“Ini memang mahal, Tuan.
Safari bersaku banyak, membuat
fasih berbohong dan berjanji.
Hanya beberapa bulan dijamin
uang kembali. Beli satu ada bonus
rumah dan kendaraan dinas
juga perempuan simpanan
kalau Tuan mau”
………………………………………………………….
Lukman nampak tak tertarik
Pada gadis pelayan ia berbisik,

“Ada yang buat lelaki kesepian, Dik?”

Gadis pelayan tersenyum

“Maaf Tuan, ini toko pakaian,
bukan toko mainan”

Senyumanku berbarengan dengan Linger by Cranberries yang mengalun ringan.
Ada lagi kutipan catatan harian yang ditulis :

-minggu 8/10/06
BUNGA-BUNGA kuning
ranting dan daun kering
berserak di setapak
bagai kenangan
siap dilupakan


-jumat 13/10/06
DI SETIAP bab terakhir
aku dikhianati Sang Pengarang
Ia tak pernah menepati janji
membayar lembar uangku
dengan selain kesedihan

Disamping berisi catatan harian, ada lagi bentuk sajak dalam rumah terakhir ini yang aku suka, ada 4 judul yang bentuknya hampir sama, masing-masing adalah : Sejarah mata sejarah waktu ; Sejarah mata sejarah jarak ; Sejarah mata sejarah kata ; Sejarah mata sejarah arah
……………………
SEBELUM ada mata
waktu adalah batu
………………………………………
MATAKU tak mengenal matamu
Jarak adalah matahari, jauh tak terjangkau
…………………………………………………………….
AKU intip matamu
di siang hari
berserak huruf-huruf
seperti kering dedaunan
akan bersatu jadi tanah
……………………………………………….
MATAMU lengkap jadi mataku
Yang manakah arah
Selain yang satu?
-kita adalah arah

Akupun terpukau pada deretan makna yang berbaris di lukisan sajak yang berjudul “Sesaat setelah kapal bersandar”
……………………………………
Inilah petualangan terakhirku, Ibu
setelah semua dermaga yang pernah menerimaku
tidak lebih lidah perempuan-perempuan nakal
Menjilat lalu muntah sambil mengumpat-umpat
Tak tahan pada kerat-kerat
dagingku dan keringat pekat
yang kusuling dari mata air susumu

MAM aku mengais tanah harapan masa lalu di bukumu tentang asal usulmu dari Angin Mamiri yang datang mengalir dari timur ke barat di sajak-sajakmu, dan baru kutemukan pada sajak yang berjudul “Teluk Puntondo, Suatu Senja”.

MENJELANG petang, langit belang-belang
Seperti ingatan seperti kenangan
Ungu-biru-ungu-biru-ungu

Dedaun bakau yang hijau dan payau
Aku dengar seperti kau berceracau
Pergilah kau!
Pergilah kau!
Lupakan aku!

Ah, sampai sekarang aku tak dapat melupakan lelaki dari Angin Mamiri itu datang, dia kisah lama penuh kenangan yang terlalu susah untuk dihapus walau oleh tipp ex yang paling modernpun. Love of my life by Queen dengan dentingan piaonanya yang khas mengalun bercampur samar-samar lagu Angin Mamiri yang di dendangkan si cantik Andi Meriem Matalata menambah senja di teluk Puntondo, semakin membentang, memanjang lalu menjelma bayang-bayang.

Di awal dan akhir buku ini ada 2 sajak, namun aku suka sajak yang ada di akhir buku yang berjudul “Lubang Untukmu”
……………………………………….
Aku ingin jadi lubang tanam bagi mayatmu
Agar kau dan aku bisa sempurna menyatu

Ada beberapa puisi MAM bertema tentang perjalanan hari tua dan kematian, di sajikan dengan perih namun dalam, mengingatkan aku tentang akhir kehidupan yaitu mati.

Pertemuan sepintas pada awal lauching buku MAM di Graha Cipta II, TIM, tempo hari membuatku sedikit kecewa, karena MAM terkesan mengasingkan diri dari penikmat puisi, padahal ada banyak tanya di kepalaku yang ingin kusampaikan pada MAM saat itu, namun penyair satu ini menyendiri di sudut keramaian dan memilih diam dan sunyi.

MAM kau memang penyendiri atau ada hal lain yang menyebabkan dirimu menarik dari keramaian ? padahal sajak-sajakmu itu ramai, jarang aku jumpai kesendirianmu di permainan kata-katamu, walau ada juga sajak yang berbicara batinmu. Tapi jiwa muda dinamiknya itu bergerak bagaikan tiupan angin mamiri.

MAM, suatu kelak ketika dentangan waktu merambat ke barat dan masih ada tersisa kata-kata di keranjang untuk kau sajikan di buku ketigamu nanti,aku ingin MAM yang hangat, terbuka menyambut penikmatmu dalam sajian sajak-sajakmu.

Cuma satu aku pesan , buatkan aku sajak pendek tak lebih dari 4 kata dalam sebaris namun terdiri dari 7 bait yang sarat makna dan kuatnya roh (halah ! cerewet ), daripada aku kau buatkan sajak cermin , aku lelah MAM menangkap rohnya !, dia keburu pergi jauh, metaforanya tak ada sama sekali, kering!. (maafkan aku MAM!, ini hanya gurauanku saja untukmu, jangan kau anggap serius! Aku takut nanti buku ke tiga kau tetap akan menyendiri dan terasing padahal kau mampu!)

Salam damai dari Bogor, sore ini hujan deras di sabtu tanggal 12/04/2008, tepat 2 hari setelah hari kelahiranku.

Aku dapatkan bukumu dari pinjaman dimas Bayu Lukman yang ganteng itu (makasih bro !), karena pada awalnya terus terang aku tidak begitu tertarik dengan puisi bagaikan cermin tadi, namun membuatku penasaran, maka kupinjam dari dimas Bayu yang dengan baik hati meminjamkan padaku untuk kukupas dan kuselami roh yang ada di setiap sajakmu itu. Walau kuakui sampai tuntas aku tidak memahami puisimu yang cermin, namun yang ada dentingan bunyi dan yang pendek dengan cekatan aku dapat menangkapnya dan menikmatinya tentunya seperti biasa harus ada lagu pengiringnya supaya enak membacanya.