Monday, January 19, 2009

resensi kumpulan puisi Afrizal Malna

Perjalanan di Halaman Belakang, Pakaian kotor di Dasar Jurang
Oleh ilenk_rembulan
Buku kumpulan puisi setebal 256 halaman ini dengan cover batik menarik dan sederhana, namun meninggalkan kesan “art” bagi pecinta seni , seolah menggambarkan sosok penyairnya yang memang selalu tampil sederhana , tetapi menyimpan energy penciptaan dan daya kreatifitas yang tinggi.

Sepakat dengan siaran pers yang tercetak dalam undangan diskusi buku tersebut pada hari Jum’at tanggal 21 November 2007 di Cemara 6 Galery,Jakarta, saya sempat mencuri waktu sejenak dari kesibukan menyiapkan anggaran perusahaan, karena bagi saya, Afrizal sebuah fenomena lain, tercetak di siaran pers tersebut bahwa Afrizal menawarkan sebuah strategi untuk memandang dunia secara berbeda. Di tangannya, keseharian yang ada di sekitar kita diramunya menjadi obyek puisi dengan strategi instalasi, Afrizal mengemban sebutan mesra “puisi instalasi”.

Judul buku puisi kali ini sudah merupakan bagian dari puisi itu sendiri. “Teman-temanku dari Atap Bahasa”, mengucap judulnya saja sudah saya rasakan sentuan instalasinya.

Di bagi dalam 2 (dua) bilik, bilik pertama berisi 28 puisi oleh penyairnya diikat dengan nama Perjalanan di Halaman Belakang, sedangkan yang ke dua terdapat 40 puisi dengan lilitan nama Pakaian kotor di Dasar Jurang yang siap mengajak pembaca menyelami goresan seorang Afrizal.
Sejak pertama menikmati puisi-puisi Afrizal dengan bentuk yang specific dalam penulisan maupun cetak tata letak dan sepintas awalnya bagi saya agak melelahkan. Selaku penggemar puisi puisi pendek dengan alur lompatan klasik pada umumnya, membaca puisi Afrizal terasa agak aneh.
Namun kemudian setelah membaca kata demi kata yang terangkai bagaikan pecahan tubuh keseharian, dimana Afrizal berhasil dengan indahnya seperti meletakkan puzzle di sudut sana sini, saya menemukan kejutan itu. Perasaan lelah di awal ketika hanya melihat sepintas hilang sudah, bahkan mata ini menatap terus dan berusaha menyelami masuk ke dalam, seperti seorang penyelam menemukan “sesuatu” yang terasa kemilau di kedalaman laut pada samudra luas, yang membuat hatinya turut tergerak ingin mengetahui “ada apa disana?”.

Bagian I : Perjalanan di Halaman Belakang

Kali ini saya ditemani tarian jemari Maksim menghentak suara tuts piano, mengeja kata demi kata di bagian I ini. Perjalanan dengan membaca judulnya yang terpampang di halaman depan , hembusan puisi-puisi itu sudah berbicara. Susunan pecahan tubuh itu sudah mulai terasa di awal satu puisi pembuka “50 tahun usia kuping”. Coba rasakan sejenak,

kuping itu menulis seperti membaca dalam sebuah sumur yang terbalik. kuping itu menulis seperti menyalib tubuhku secara terbalik dalam sumur itu.

kamu adalah daging dengan berat 2 ons. kamu adalah daging yang mendengar suara sumur yang terbalik dalam jantung manusia. kamu adalah 2 ons yang usianya hampir 50 tahun…..


Sepintas seperti hanya bermain kata saja, antara satu dan lainnya seperti di bolak-balik, namun apabila dicermati, kalimat selanjutnya merupakan bagian cerita dari kalimat sebelumnya, begitu seterusnya, lompatan yang teratur antara kata di kalimat atas kemudian menjelma di bawahnya saling terkait maknanya, bukan sembarang asal tempel, layaknya bermain puzzle, mencocokkan gambar di luar dalam hal ini di luar kehidupan, dengan rangkaian penciptaan di dalam, sehingga ditemukan kecocokan gambar bisa tercipta

Hal ini yang membuat saya tidak bisa berpaling atau menutup buku, ketika membaca bait bait puisi yang ditulis panjang. Afrizal berhasil memikat mata dan hati saya dalam bermain imajinasi yang melantun lembut seperti tuts piano yang disentuh lembut tangan Maksim.

Puisi-puisinya tidak hanya mempunyai makna dalam tetapi ada cerita yang disampaikan. Pengambilan kata-katanya dari bait awal sampai akhir itu bagi saya seperti melihat sebuah lukisan. Lukisan realita kehidupan yang dia sampaikan dengan symbol dimana mungkin bagi sebagian pembaca berkerut kening bertanya tentang maksudnya, tetapi bagi sebagian lainnya akan merasa tertarik dan menatap lama symbol itu untuk kemudian setelah diselami menemukan jawaban dan dapat tersenyum.

Hal ini terasa dalam puisi yang berjudul “halaman belakang bulan Januari”, sebagian saya kutip di bawah ini,

engkau tak bisa merekat nyanyian burung, menjelang hujan, di halaman belakang bulan januari. hujan masih mengungsi di negeri yang lain, sejak keretamu menerjang bulan januari dari politik pisang goreng…

Puisi ini indah, apalagi sewaktu dibawakan berduet dengan Djenar pada diskusi hari Jum’at kemarin. Seorang Djenar yang memang menarik ditambah puisi indah ini yang katanya Djenar lahir pas bulan Januari. Luar biasa !

Permainan judul puisi-puisinya sudah menarik, ada atap bahasa yang runtuh, mesin tik merah, kipas angin manusia yang kepanasan, aku merembes ke dalam sore, sebuah gerobak dia bilang, ingatkah aku berjalan di belakang punggungmu, dan masih banyak lagi. Metafora dalam bahasa tubuh digabung dengan kesederhanaan bangun dalam susunan katanya, membuat puisi Afrizal tak lelah untuk dijelajahi.

Saya contohkan disini, puisi berjudul “black box”.

nabi. Kalau n diganti dengan b, dia menjadi babi. tidak nabi. kalau b diganti dengan n, dia menjadi nani. tidak babi. black box. kalau b diganti dengan p, dia menjadi napi. tidak nani. kalau n diganti r , dia menjadi rabi. black box. tidak napi. kalau b diganti dengan s, dia menjadi nasi…..

Kesederhanaan dalam puisi di atas, sekilas bermain hapus dan ciptakan kata (apa ini alasan juri KLA tidak memenangkan buku ini), tapi ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh penyair ini, pada lanjutan puisi tersebut di bawah ini

black box, sayangku. pohon kamboja itu ada 5 meter di depan kita. black box. tapi setiap kata yang kita tanam, jaraknya tak terukur. lebih jauh jarak dari musim semi dengan seekor keong yang berjalan di atas lidah kita. black box : nabi, babi, nani, napi, rabi, nasi, nari…..

aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan kembali manusia seperti speaker dalam kobaran api.

black box.


Lihatlah ! bagaimana tiba-tiba dia menyelipkan kata speaker kemudian menggulungnya dalam kobaran api. Pembaca akan mereka-reka apa yang dia maksud ini? Adakah yang tahu makna “speaker dalam kobaran api “? Yang terbayang disela pikiran saya adalah lidah sapi panggang saus BBQ dalam kobaran api, tentunya lezat !

Satu lagi puisi yang berhasil memikatku lebih menikam, puisi ini sepertinya dipersembahkan buat sahabatnya Radhar ketika beberapa waktu lalu terbaring sakit.

Entahlah, ketika membaca kata-kata yang tersusun ini , saya seakan berlari tergopoh-gopoh seperti menyusuri lorong rumah sakit dengan ketergesaan penuh kepanikan. Afrizal bisa membuat saya malam ini berkeringat sejenak.

Soda susu dan bahasa Indonesia buat radhar

aku minum soda susu bersama teman-teman. dan teman-teman minum soda susu bersamamu, radhar. meja tempat kita minum seperti gedung rumah sakit yang sudah ditinggalkan. kini jadi bangunan tua. sisa-sia jarum suntik telah berkarat. pisau-pisau bedah tak mau berkarat, seperti menjagamu agar tak ada kawat berduri dalam tubuhmu……..


Di akhir puisi ini , penyair menulis dengan penuh “rasa”

ini mentega, radhar. dan ini diriku. aku tak tahu, berapa yang harus kita bayar untuk menyewa hidup ini. aku tak tahu, hujan yang mana yang akan membuat box pakaian yang pernah kita kenakan. udara di bawah dagu kita, dan kilauan air di lantai.

Bait-bait kata di atas seperti mengingatkan pada kita semua, bahwa betapa pentingnya arti “sehat” itu , lihatlah “aku tak tahu, berapa yang harus kita bayar untuk menyewa hidup ini”. Ya, ketika kita jatuh sakit, harus siap sediakan berapapun untuk menyewa kembali hidup kita, siapa tahu yang punya “rumah” tubuh ini akan mengambilnya tanpa mau menyewakan lagi.


Bagian II : Pakaian kotor di dasar jurang

Pada bagian II ini, puisinya lebih seperti membaca cermin (cerita mini). Kreatifitas pada kata yang berjiwa pada bagian ini begitu kuat, sehingga awalnya saya sempat mulai mengkhawatirkan bahwa saya tidak dapat menikmati lekuk lekuk pada tubuh puisi Afrizal yang sudah terlanjut saya nikmati di bagian I tidak saya temui. Namun perkiraan ini meleset, semakin lama saya telusuri lekukan tubuh puisi itu, semakin dalam saya bisa menikmati permainan Afrizal dalam memberikan “sesuatu” bagi jiwa ini.

Ada cerita dari atas sampai bawah dalam batang tubuh puisi itu, antara baris satu dan selanjutnya seperti rangkaian awal dari cerita pendek, ataupun novel. Afrizal tetap konsisten menciptakan guratan pinggul pada batang puisinya, walau itu ditulisnya panjang.

Kutipan sebagian puisi berjudul “apakah kamu masih sekolah, jilan “

saya ingi menggambar wajah ayah. tapi bagaimana saya bisa menggambar wajah ayah, karena saya tidak pernah bertemu ayah. apakah ayah terus berjalan bersama hujan ? setiap saya bertemu sungai, saya seperti sedang memandang ayah.

Apakah kamu masih sekolah, jilan ?

1 + 1 = 2. ibu guru terbuat dari ayam goreng. 2 +2 = 4. bapak guru membuat gunung dari gula jawa. 7 + 4 = 9. itu sudah berlebihan, ayah jilan mau beli donat. saya bosan sekolah. saya tidak boleh belajar membaca dengan menari. saya harus belajar membaca dengan berteriak. saya tidak suka duduk di kursi. saya hanya ingin menggambar robot di lantai. saya bosan di sekolah karena harus selalu menggambar gunung. saya berlum pernah melihat gunung. gunung itu seperti roti dengan isi coklat dan kacang. saya ingin masuk ke dalam kepala ibu guru………………….


Saya jadi teringat waktu masih SD dulu selalu seragam bila ibu atau bapak guru menyuruh menggambar. Kalau menggambar gunung, ada dua lekukan gunung di tengahnya ada gambar matahari , ada mata dan garis-garis berdiri. Kemudian ditarik lagi garis menyamping di bawahnya gambar jalan dan sawah petak-petak, dan anehnya semua teman-teman yang lain menggambar sama bentuknya. Apakah anda pembaca mengalami seperti yang saya alami dulu ini ?
Saya merasakan memang saya belum pernah melihat gunung, pun ketika hobby mendaki gunung kala SMA di Surabaya dulu , dari jauh G. Welirang dan G. Arjuna di Pandaan itu sekilas seperti gambar waktu SD, sehingga sayapun meng-amini gambar waktu SD tentang gunung itu hampir benar. Lalu bagaimana dengan gunung yang berdiri sendiri semacam G. Rinjani, G. Kelud , dll. Ah, ulasan ini jadi ngelantur ke gunung.

Judul-judul puisinya sudah mengundang keingin tahuan pembaca. Aku pulang bersama matahari sehabis hujan, pohon jambu yang patah, pidato bunga-bunga, korek api di atas bayanganku, kepalaku tidak terbuat dari kecelakaan , seperti apakah januari itu bangkai sapi dalam telur dadar dan banyak lagi. Judul puisi yang panjang sepanjang isi tubuhnya, dan bisa dilanjutkan sebagai sebuah cerita mini ataupun cerpen . Bisa juga berkembang menjadi sebuah novel. Kenapa tidak ?

Kutipan sebagian “ aku pulang bersama matahari sehabis hujan “

kaos yang akan aku pakai telah selesai kucuci. matahari sehabis hujan, seperti berjalan bersama-sama para pengantar jenasah yang baru saja pulang dari sekolah. aku tak tahu siapa yang telah dikuburkan dan aku tak tahu siapa para pengantar jenasah itu. kaos yang akan kupakai kini telah kering. dan aku mulai mengenakannya. tubuhku seperti menyentuh tanah.

aku buka kaosku kembali. ada bekas tanah pada bagian bahu kaos itu. juga ada seorang guru yang terbakar di depan papan tulis. aku tak tahu guru itu mengajar siapa. aku juga tak tahu tanah itu dating dari mana. aku mengira kaos itu pernah terjatuh ditiup angin saat guru itu mengajari tanah untuk tidak menjadi api


aku membantah mungkin kaos itu ikut mengantar jenasah yang dikuburkan saat matahri sehabis hujan. tidak mungkin tanah yang memakai kaos itu untuk berjalan-jalan di sore hari. aku tidak mau menduga kalau tanah itu tanah kuburan yang memakai kaosku saat jalan-jalan di sore hari

Puisi di atas tersebut terdiri 5 bait, yang empat bait panjangnya seperti di atas. Hitunglah ! berapa baris dalam satu bait itu. Antara rangkaian bait di atas dan selanjutnya merupakan satu kesatuan yang membentuk lingkaran.

Afrizal mengulang cerita pada bait berikutnya yang sebagian berisi penggalan dari bait sebelumnya atau di awalnya. Begitu seterusnya, seakan pembaca diingatkan bahwa batang tubuh puisinya itu tidak sekedar menulis runtut dari atas ke bawah lalu selesai, tetapi seperti dia bercerita tentang dari awal sampai akhir, namun mengingatkan sebagian di awal itu merupakan buntut dari akhir ceritanya.

Saya menafsirkan seperti kehidupan ini. Kejadiian yang kita alami dan jalani merupakan sebagian dari akibat perbuatan kita sebelumnya dan begitu seterusnya , kehidupan kitapun dipengaruhi oleh sekeliling kita, alam dan manusianya yang sebagian perilakunya baik langsung dan tidak langsung ikut mempengaruhi perjalan hidup kita ini.

Puisi di atas itu awalnya menceritakan kaos yang sudah kering yang akan dipakai, kemudian ada jenasah yang dikubur dan pengantarnya, lalu tiba tiba di kaosnya ada tanah menempel, guru yang terbakar dan seterusnya, bahkan kemudian timbul kecurigaan antara kaos dan jenasah serta kuburan itu ada sangkut pautnya, begitu juga kehidupan ini. Bisa jadi salah tafsiran saya, namun sebagian besar puisi puisi Afrizal dalam bagian II ini kental seperti itu. Semakin ke dalam membacanya, seperti membaca cermin hidup ini secara tidak langsung.

Ada puisi yang berjudul “rendra diarea lubang bahasa”. Puisi ini panjang terdiri dari 9 bait namun tiap baitnya terdiri minimum 5 baris dan penuh makna. Masing-masing bait itu sendiri sudah kuat dalam penyampaian isinya, seandainya dia berdiri sendiri sudah merupakan sebuah puisi, namun kemudian dirangkai selayaknya seperti membaca sepotong buku harian seorang Afrizal tentang penyair Rendra dalam perjalanan yang dia kenal , sehingga menghasilkan satu tubuh puisi yang begitu kuat bagai pohon beringin (ini tidak dalam rangka kampanye lho ya !)

Dan saya suka sekali dengan penggalan kalimat di bait 8 “dia tahu, seorang penyair hanya lahir dari sebuah atap kalimat yang terbakar. ketika jeritan bahasa membuat sepasang lubang matanya” .
Luar biasa, dua kalimat ini terngiang-ngiang dalam waktu saya yang terkejar jam tayang anggaran yang masih belum disetujui. Ya, seorang penyair hanya lahir dari sebuah atap kalimat yang terbakar, kalau dia lahir dari kalimat yang biasa saja, tak ada letupan dari kata yang dia susun , tak ada gelora, tak ada keliaran , tak ada “sesuatu” untuk disampaikan pada sekelilingnya, pada dunia, layaknya roket “katyusha” yang membuat Israel geram dan ada alasan untuk terus menggempur Gaza pada serangan akhir-akhir ini.

Surprise juga ! ternyata dalam kumpulan di bagian II ini saya menemukan puisi pendek. Judulnya “hujan pagi”. Judul pendek seperti isinya juga.

hujan pagi

di dekatku ada sebuah gunting. hanya sebuah gunting.

ganggangnya plastik.

di luar ayam rebut sekali. membuat tanah berantakan di atas tempat tidurku. seekor anaknya.
- anaknya ---
matanya

----matanya—

memberiku sebuah bahasa. bahasa yang penuh dengan air.

Dengan iringan suara Agnes Monica mengalun lembut menyanyikan “matahariku” dan teringat penulis Lelaki Ikan pengagum Zhi Yie yang juga penggemar berat lagu tersebut, saya menghela nafas terbersit pertanyaan “mengapa kumpulan puisi teman-temanku dari atap bahasa” ini tidak memenangkan KLA ? Mungkin selera juri dan selera saya memang tidak sama dalam menafsirkan sebuah puisi apalagi sekumpulan, kan sebatalyon itu. Akan banyak multi tafsir. Kok seperti tentara saja, sekilas berita Al Jazeera masih menemani saya menutup di malam hujan gerimis yang selalu mengguyur Bogor di bulan Januari ini.

Namun kemudian setelah membaca berita bahwa kumpulan puisi ini dinobatkan oleh majalah Tempo menjadi ”karya sastra terbaik 2008”, sempat juga alam pikiran say bergoyang liar “adalah penobatan ini untuk menutupi kemenangan pada perhargaan yang lain yang seharusnya juga Afrizal terima ?” Ojo no nduso ki !

Bogor, 10 Januari 2009. 23.33 wib.

No comments: