Thursday, June 28, 2007

komentarku atas karya Paulo Coelho

Mas Haris,

tapi buat aq karangan Paulo di The Alchemist itu bukan omong kosong...

pertama, kalau aq ingin membaca buku (fiksi & non fiksi) yang dilihat :
1. judul,
2. ide keinginan pengarang yang ingin dia sampaikan di bukunya itu apa,
3. selanjutnya setting , dia ini mau cerita sebagai apa :
a. diri sendiri (non fiksi kebanyakan , krn berhubungan dng dalil, hasil hipotesa, penelitian yg penulis lakukan)
b. diri sendiri tetapi dia memakai toko lain (sebagai dalang)
c. benar-2 tokoh rekaan hasil imajinasi/khayalan
d. resensi (kalau dahulu pada saat aq sd, agak susah menemukan resensi/synopsis dari buku-2 yang terbit, sekarang mah banyak, teman seperti kang tanzil, mbak Endah perca juga mas jody adalah orang yg paling aq cari kalau aq membeli buku-2 fiksi, sedangkan non fiksi ada beberapa teman dosenku yg diminta pendapatnya)
5. dll....banyak deh selanjutnya

nah , setelah mendapatkan beberapa hal diatas, baru aq membacanya, dan sebagai penikmat buku aq akan berusaha masuk dalam alam pikiran sang pengarangku.
kalau dia piawai menulis kata bersayap , terbuailah diriku, kalau dia piawai menuliskan fakta secara njelimet sama juga terbuai sampai deteil terbayang diotaku, bahkan untuk buku-2 horor sampai merinding membacanya

nah, di dalam buku alchemistnya Paulo ini, aq sejak awal pikiranku sudah terkotak bahwa ini dongeng. dongeng itu kan seperti juga bualan, cerita karang-karangan, hal hal aneh yg tidak ada di alam nyata.
tapi ada dongeng yang mendekati kenyataan, dimana hal ini oleh si pengarang bisa menunjukkan kepada pembacanya hal itu bisa terjadi.
contoh sederhananya adalah cerita wayang.
Wayang itu kan dongeng, sejatine ada dan tiadanya kan sampai sekarang belum ada yang bisa membuktikan secara nyata.
tapi apa yang terjadi, ketika aq duduk di depan kelir, dan gamelan berbunyi, dan kemudian dalang mulai memainkan peranannya, banyak sekali cerita dongeng yang dia sampaikan mengandung nasehat, filosofi dan kejadian-2 yang manusia alami. Memang cerita wayang itu dibuat antara kejadian nyata dan dongeng dipoles jadi satu supaya menarik.
kalau nasehat itu disampaikan atau katakanlah ajaran agama atau apapun juga secara garis lurus orang akan jemu, bosan, tapi kalau kemudian dibumbui dongeng, impian khayalan bahkan kadang ga masuk akal, akan mudah diterima.
yang penting asal si pengarang itu konsisten terhadap setting yang sudah dia bentuk di cerita yang dia sampaikan.

coba lihat cerita film kartun "Avatar, the legend of Ang", pengarang men setting cerita jaman dahulu di negeri cina, tapi ada kutub nya juga, ini dongeng, negeri api, udara, air dan angin, ceritanya ya ga masuk akal masak ada banteng terbang, tapi ini memang dongeng, namun apa yg ditangkap dari cerita kartun itu, ajaran di belakangnya, bagaimana orang jahat bertindak, bagaimana orang saleh mendapatkan ganjarannya, jadi menarik kan.

buku paulo ini aq membacanya seperti aq mendengarkan Ki Manteb mendongeng atau juga almarhum ibuku dulu yang suka mendongeng kala kami mau tidur, juga ketika aq baca buku-2 komik hc andersen/herge.
sama juga aq membaca buku harry potter, dongen penyihir namun ada "sesuatu yang ingn disampaikan " dibalik itu.

makanya kenapa kemudian buku Paulo bisa mendapatkan penghargaan. Banyak tulisan dia yang disampaiakan di bukunya emang kenyataannya begitu, ada yang memang bisa benar-2 terjadi.



salam takdir,
ilenk

----- Original Message -----
From: Haris Firdaus
To: kurnia adhita wardhani
Cc: milis kom 04 ; nur latifa ; azzah nilawati ; milis persma ; klub sastra ; milis visi
Sent: Thursday, June 28, 2007 10:50 PM
Subject: [KlubSastraBentang] Coelho, Takdir, dan Omong Kosong
Coelho, Takdir, dan Omong KosongDan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagatraya bersatu padu untuk membantumu meraihnya. (PauloCoelho). Mungkin begitu banyak fakta yang bisa kita ungkapkanbuat membantah omongan Coelho di atas. Ada banyakbukti bahwa kita, teman kita, atau orang yang tak kitakenal, hampir selalu mengalami kesulitan ketika inginmencapai keinginannya. Tak jarang, kesulitan yangmerintangi itu akhirnya menggagalkan keinginan yangingin kita raih. Dan kita akan dengan mudah berkatabahwa seluruh jagat raya ternyata tidak sedang bersatupadu membantu kita. Kita mungkin akan dengan mudahmenganggap Coelho, seorang pengarang kelahiran Brasilyang banyak mendapat penghargaan ini, keliru. Bagikita, mungkin ia sedang beromong kosong lewatkalimatnya yang saya kutip di atas.Tapi benarkah seperti itu? Saya kutip kalimat itu darinovelnya yang paling terkenal, The Alchemist. Sebuahnovel yang kalau kita cermati memang berisi banyak“omong kosong”. Sebab terlampau banyak hal yangdiungkapkan Coelho dalam novel itu yang kadang takterbayangkan. Juga, mungkin karena itu, bisa dianggaptak masuk akal. The Alchemist bercerita tentangseorang anak gembala di daerah Spanyol yang bertualanghingga ke Mesir hanya karena alasan yang spekulatifdan sedikit absurd: mengejar harta karun yang ia lihatlewat mimpi berada di Piramida di Mesir. Si anakgembala yang kemudian mencoba menafsir mimpinya lewatseorang peramal itu, akhirnya memutuskan berangkat keMesir setelah bertemu seorang misterius yang disebutsebagai “Raja Salem” bernama Melkisedek. Lewat orangtua yang memakai perhiasaan emas di dadanya itu, sianak gembala mendapat petuah bahwa ia harus “mengejartakdirnya” dengan pergi ke Mesir dan mendapat hartakarun itu.Sampai di sini, kita bisa bertanya: bagaimana sesorangtahu takdir mereka? Si anak hanya melihat soal hartakarun itu lewat mimpi yang beberapa kali dialaminya.Sampai Melkisedek datang, si anak gembala itu takpernah berpikir buat pergi ke Piramida dan mengejarharta karun itu. Kemudian Melkisedek datang. Lalupetuah soal takdir itu didendangkan. Harap maklumkalau Coelho berbicara tentang kehidupan sebagaiseorang yang telah dewasa dan bahkan sedikitmenyerupai nabi. Petuah-petuah kehidupan dalam TheAlchemist memang seperti petuah agama yang disuarakandengan penuh keyakinan dan kadang dengan gaya yangsedikit misterius, buat menambah unsur dramatis.Membaca novel itu, akan kita temukan bait-baitrenungan tentang kehidupan yang begitu penuhkeyakinan, tak goyah, dan mungkin seperti doktrin.Tapi begitulah.The Alchemist mungkin berhasrat menjadi semacam“dongeng” yang memberi inspirasi dengan menampilkancerita-cerita yang penuh lambang. Agar bisa menarikmanfaat dari novel itu, mungkin kita harus tuntasmenafsir “lambang-lambang” itu. Bagaimana kehidupanmesti dijalani, bagaimana manusia harus mengejartakdirnya, dan bagaimana sebuah keberanian harus terusdipompa, semuanya ingin ditampilkan oleh Coelho lewatnovelnya itu. Maka, membaca The Alchemist sepertimembaca dongeng-dongeng dari zaman lampau. Ceritadalam novel itu mengalir lancar, meski dalam logikakebanyakan ada begitu banyak “lompatan-lompatanlogika”. Tapi, seperti layaknya sebuah “dongeng”,logika memang tidak diperlukan. Yang penting justrucerita-cerita “ekstrem” yang penuh lambang dan saratakan perenungan. Dan The Alchemist berhasil buat itu. Lambang yang paling menonjol dalam The Alchemistadalah soal mimpi, cita-cita, atau keinginan.Berkali-kali Coelho lewat tokoh-tokohnya yangmenyerupai nabi dan tahu segalanya, mengatakan bahwamanusia mesti mengejar cita-citanya atau “takdirnya”.Meski mimpi-mimpi itu adalah sesuatu yang berat buatdicapai, atau malah absurd buat dicapai. Tak pentingsemua itu. Yang penting, “takdir” mesti dijalani. DanCoelho mengajak kita percaya bahwa dalam perjalananmengejar “takdir”, akan banyak kita jumpaipelajaran-pelajaran, kebijaksanaan-kebijaksanaan, danpengalaman-pengalaman yang akan menambah kearifankita. Sehingga, meski “takdir” kita akhirnya taktercapai, apa yang telah kita dapatkan selama mengejar“takdir” itu telah lebih dari cukup. Sampai di sini, mungkin kita masih beranggapan bahwaCoelho sedang beromong kosong. Kita bisa mengatakanbahwa seandainya si anak gembala—tokoh utama dalam TheAlchemist—tidak bertemu dengan Melkisedek, mungkinanak gembala itu tak akan mengejar takdirnya. Lalukita akan bilang bahwa dalam novel itu terjadi sebuahkeajaiban yang tak bakal terjadi dalam kehidupan kita.Artinya, Coelho curang. Ia mengajak kita mengejar“takdir” dengan memberi contoh seorang yang mengejar“takdir” dengan bantuan begitu banyak “keajaiban”.Padahal, mungkin saja ia tahu kalau keajaiban jarangsekali singgah di hadapan kita. Tapi, siapa tahu Coelho justru ingin bilang kalaukeajaiban adalah sesuatu yang mungkin terjadi dalamdunia nyata. Asal kita percaya hal itu, mungkin kitabisa melihat keajaiban. Seperti si anak gembala yangmulanya juga tak percaya, kita mungkin juga takpercaya sebelum kita benar-benar menemukannya. Tapiagakanya, bukan keajaiban itu intinya. Keajaibanadalah sesuatu yang tak akrab dengan manusia. Buatmengejar “takdir”, kita mesti mulai dengan sesuatuyang akrab dengan kita: keberanian, kerja keras, dantekad yang tak putus. Kalau itu telah ada, soalkeajaiban sebenarnya tak penting. Dan apakah Coelhosedang beromong kosong atau tidak, itu mungkin jugajadi tak penting lagi. Sukoharjo, 1 Desember 2006Haris Firdaus(http://rumahmimpi.blogspot.com)

1 comment:

Dondongoposalak said...

mBak Ilenk yang baik, Tentang "takdir" bagiku belum mudeng, soalnya punya arti yang perkasa. Dulu waktu umur antara 12 tahu dengan seorang kawan aku pernah ke gunung Kawi untuk jalan-jalan saja. Kami dari rumah di Kauman, Malang, berjalan kaki. Di sana. di semacam klenteng, aku membawa kertas pemujaan. Sampai di rumah kutunjukkan ke seorang ibu-ibu setengah bawa. Dia "membaca" kertas tersebut dan bilang kalau suksesku masih terlalu jauh. Hanya itu bilangnya. Habis itu, bertahun-tahun kemudian, setelah melewati berbagai halangan, tekanan, derita dll baru yang bernama "sukses" itu tampak. Tak lain punya identitas, punya keluarga, mandiri dan tetap berkarya. Jadi waktu kecil sama sekali tidak tahu apa itu "takdir" sampai detik ini. Mungkin lebih baik seperti "ikut mengalir" saja, karena kalau tahu orang jadi ragu, takut, pesimis dll. Barangkali isi pikiranku ini salah ya? Ya, sekedar urun rembug. Salam, RA.