Thursday, July 5, 2007

Imperia, membedah buku karangan Akmal

“Imperia”
Kekuasaan, loyal, pengkhianatan dan cinta (I)
Oleh : Konstituen Betha Gama merajut sastra / ilenk

“kamu masih ingat danau Bodense, patung Imperia ? dan ceritamu barusan itu sama seperti Jenderal Pur?”

sms itu masuk dari Berlin suatu malam, sesudah percakapan panjang lewat hp dengannya.

“siapa Jenderal Pur?’
“katanya kenal dengan Akmal? Masa buku dia yang satu itu kamu belum baca? judul bukunya sama dengan patung idolamu itu, kalau ingin tahu jawabannya ya, cari liebling !”

jawaban sms terakhir bikin penasaran, rupanya ada buku Uda Akmal berjudul patung itu. Keesokan harinya tanpa ba bi bu, aku order ke toko buku langgananku minta secepatnya dikirim.

Ketika kusampaikan pada dua sahabatku, mereka ketawa “Wah kowe ini kemana saja? kami-kami udah selesai lama baca buku itu, sekarang malah mau kami omongin denganmu sehubungan sering kamu dengung-2kan menjadi orang kedua itu lebih enak dari pertama di kekuasaan”
Wah, betul-betul ketinggalan kereta jauh amat. Melihat halaman cetakan I bulan Juni 2005, ketinggalan satu tahun. Hiks...

A. Kekuasaan dan loyal
· Jenderal Pur

“Jangan pernah berkeinginan berada di puncak dan menjadi nomor satu, karena kau akan menjadi sasaran tembak yang paling mudah. Begitu kau jatuh, kau akan jatuh dengan telak, menyakitkan. Jadilah orang nomor dua tapi dengan kekuasaan nyata. Kau tak terlihat, tetapi ada”

“Menjadi nomor satu adalah hal terbodoh dalam kehidupan. Kau tak kuberikan status semu, tapi kehidupan nyata”

dua penggalan kalimat diatas aku ambil dari buku Uda Akmal dengan judul Imperia. Nama ini diambil dari nama Patung perempuan cantik yang berdiri di kota Kontanz di Negara Jerman di tepi danau Bodense, danau cantik yang terdapat di selatan , disana. Patung tersebut konon adalah seorang perempuan pelacur Italia tetapi dia menguasai di tangan kanan raja Sigismund dan di tangan kiri Paus Martinus V.

kalimat tersebut diucapkan oleh tokoh bernama Jenderal Pur yang terdapat dalam buku tersebut. Tokoh ini yang kemudian masuk dalam kehidupan penyanyi bernama Melanie Capricia sebagai the other Men/Women (kekasih gelap Melanie atau sebaliknya Melanie gundik Jenderal Pur, tergantung kacamata pembaca mau dilihat dari sisi mana, dua-dua nya sama menariknya) dan tanpa sadar hubungan diam-2 antara penyanyi dengan dia membawa jurang kehancuran bagi karier penyanyi tersebut tanpa disadarinya.
Jenderal Pur ini mengingatkan aku akan tokoh beberapa jenderal purnawiraman era Suharto yang berebut pengaruh di militer dan public. Aku mencata ada almarhum Ali Murtopo, M. Yusuf, Amir Machmud dan juga bekas petinggi BAKIN sekarang jadi BIN, yang pasti pikiranku bukan oleh sosoknya yang jenderal tetapi kekuasaannya yang tidak pernah berhenti dan mati walaupun beliau sudah pension.
Menjadi tokoh kedua namun sebenarnya adalah pengendali pertama juga mengingatkan akan sosok almarmuh Tien Suharto, yang konon katanya ada rumor ketika Suharto lengser “Wah , pak Harto baru dua tahun sudah lengser !” . “Kok dua tahun bukannya 32 tahun ?!”. “Yang tiga puluh tahun itu Bu Tien. Yang jadi presiden republik ke dua negeri ini sebenarnya bu Tien bukan pak Harto”.
Ketika itu sudah bukan rahasia lagi, mau tanam PMA,PMDN, jadi menteri, gubernur, walikota semuanya kudu sowan di istana Cendana dulu sebelum melakukan langkah selanjutnya. Itu konon katanya (seperti lagunya Alam saja)
Sejujurnya dalam kehidupan sehari-hari juga banyak diketemukan tokoh pengendali kekuasaan ini, menurutku menjadi tokoh kedua atau dibalik layar lebih aman dari bidikan musuh maupun apabila ada kesalahan yang dilakukan oleh tokoh pertama. Alasan laen menurutku adanya suatu kepuasan batin apabila kita bisa memerintah orang dengan pola pikiran kita dan orang itu adalah bos kita/atasan kita. Aku paling suka dan menikmati peran tokoh di belakang layar ini. Apalagi jejaknya jarang bisa diketemukan dan paling suka dengan tokoh pertama yang gila kekuasaan tapi lemah dalam bertindak, ini bisa jadi biduk catur yang menyenangkan bagiku.
Tapi tidak semua orang suka dengan peran dan menjalani sebagai tokoh pengendali di belakang layar ini, kebanyakan orang gila hormat, gila kekuasaan, ingin menempatkan pada posisi utama supaya orang tahu kalau dia itu orang nomor satu, padahal dalam memerintah kesehariannya dia sangat bergantung pada orang lain, dan kelemahan kebanyakan orang-orang ini adalah dia tidak merasa kalau dikendalikan oleh bawahannya atau orang terdekatnya/kepercayaannya.

“Yang kau butuhkan sekarang adalah anakbuah yang loyal, bukan yang kritis”

penggalan kalimat diatas itu diucapkan Jenderal Pur pada anak buahnya Moorhan yang dia pasang di majalah Dimensi sebagai orang nomor dua setelah Pemimpin Redaksi.

Loyal dan kritis atau hanya loyal saja tanpa adanya kritis cukup membingungkan posisiku sebagai anakbuah.
Kadang begitu loyalnya aku pada atasan, namun balasan yang kuterima tidak seimbang, pun ketika memposisikan sebagai karyawan yang kritis cukup juga membahayakan terutama bila bos itu type orang yang “wright or wrong this is me”. Mungkin kombinasi keduanya bisa membuat lebih harmoni, tetapi sampai sekarangpun aku menjalaninya hasilnya tetap tidak sesuai dengan harapan.
Yang terasa adalah ketika kita mempunyai bawahan yang loyal memang lebih terasa nyaman mengendalikan mereka dibandingkan yang kritis, isinya mengkritik melulu dan kesannya ambil keuntungan dikala kita dalam posisi terjepit. Tetapi pada anak buah yang loyal, kita masih mendapatkan perlindungan dan belaan dari mereka, mungkin mereka mengingat kebaikan-2 yang sudah kita berikan, walau kesannya seperti minta balasan. Dikalangan militer dan dunia mafia, loyalitas total sangat dibutuhkan demi karier lebih lanjut juga kepercayaan yang lebih besar dari bos/atasan.

· Melanie Capricia

“Kalau kamu berada di depan Imperia, kamu bisa lihat seringainya yang penuh keyakinan seakan-akan memastikan mereka memang di bawah pengaruhnya. Satu petinggi Negara, satu petinggi agama, dikontrol seorang yang sering diludahi sebagai sampah masyarakat. Ironi yang sangat indah, bukan?”

penggalan kalimat itu diucapkan oleh Melanie Capricia, seorang tokoh lain di buku ini dan sebagai penyanyi terkenal, seorang diva. Disitu dia begitu mengidolakan tokoh Imperia yang sudah disebutkan diatas dan terobsesi dia juga sebagai jelmaan Imperia lain yang hidup di negeri ini. Dimana di tangan kanannya dia sudah menggenggam dunia pers/komunikasi dan informasi dan di tangan kirinya seorang jenderal yang punya pengaruh kuat di negeri ini.

Dengan pemikiran seperti Imperia itu, dia sudah merasa nyaman bercokol sebagai penyanyi papan atas dan sepertinya jauh dari cobaan ataupun saingan yang berusaha mencokel kedudukannya sebagai diva yang selalu dielu-2kan , selalu ditunggu-tunggu album barunya oleh penggemar yang berjumlah jutaan di tanah air.
Kesombongannya tidak ditampakan dalam tiap kali bertemu sua baik dengan kalangan wartawan ketika jumpa pers ataupun dengan penggemarnya.
Dia benar-benar memakai topeng menjadi penyanyi yang cantik tapi kesannya bodoh, inosence, yang hanya jual tampang dan suara yang pas-pasan. Dia menyadari kelebihan yang dia harus tutupi juga kekurangan yang dia punyai dengan cara menjadi Imperia tersebut.

Justru dengan kesombongannya ini dia bisa melakukan apapun juga demi keinginannya, bahkan dia berani mengorbankan suami dan keluarganya demi ketenaran yang sudah terlanjur dia peroleh dengan susah payah.
Biasanya tameng “tawaran bagus tidak datang dua kali dalam hidup” mereka tenggelam dalam kesombongan Imperia ini, merasa dengan puas sudah menggenggam separuh dunia, begitu sering mereka ucapkan.

Namun perlu diingat, biasanya pada orang-orang type seperti ini, akan kehilangan kewaspadaannya terhadap orang paling dekat yang berada disisinya. Dalam buku ini diceritakan bahwa MC (penyanyi ini biasa disebut) justru dikhianati oleh Adel, manajernya sendiri, sahabatnya, guru menyanyi sejak awal dia mulai merintis di dunia nyanyi yang kadang-kadang dia perlakukan tidak hanya sebagai manajernya suatu jabatan terhormat, tapi juga tak lebih dari pembantu/baby sitter bagi anak-anak MC.
MC dengan sadar mengkhianati suami juga anak-2nya tanpa merasa dosa sebagai pacar Sang Jenderal dan merasa mampu sudah menundukkan Sang Jenderal, rupanya masih ada Imperia lain yang lebih berkuasa dari dirinya.

Tokoh Melanie ini membuat aku tidak begitu suka dengan kekuasaan mutlak seorang istri (dominant) terhadap suaminya, karena bagaimanapun juga suami adalah partner kita dalam mengarungi biduk rumah tangga, dan kita sebagai wanita tidak dapat memungkirinya bahwa mereka adalah Imam/pemimpin bagi kaum wanita dan keluarganya, tetapi akupun juga tidak suka terhadap lelaki yang terlalu dominant terhadap istrinya, begini tidak boleh begitu juga, kalau ini terjadi kemungkinan besar dia tidak dilahirkan oleh seorang wanita.


Bersambung….ke (2)

08.10wib...pagi yang nyaman

No comments: